Teriknya matahari di siang hari tidak membuat benteng Vredeburg sepi pengunjung. Tempat bersejarah yang letak di depan Gedung Agung Yogyakarta, tak ubahnya magnet yang selalu menyedot hati wisatawan. baik itu wisatawan domestik maupun mancanegara.
Benteng yang didirikan oleh Belanda sejak tahun 1765 ternyata memiliki pesona lain dibalik tembok setinggi empat meter. Bangunan-bangunan seperti rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen terdapat didalam benteng.
“ Tidak di sangka ternyata dalam benteng ada rumah- rumahnya juga, saya pikir tidak ada apa- apanya, setahu saya benteng cuma digunakan untuk pertahanan dan yang ada hanya senjata- senjata, ” kata Bimo, siswa SMA yang sedang studi wisata.
Bagi beberapa pengunjung, bangunan- bangunan tua yang kaya nilai sejarah ini tidak hanya memberikan pengetahuan akan masa lalu tetapi juga sebagai tempat untuk memuaskan hobi. Seperti yang dikatakan Dimas, seorang pecinta foto yang menyukai bangunan- bangunan tua sebagai objek fotonya mengaku, tempat ini tidak hanya menawarkan bangunan- bangunan tua dengan gaya arsitektur Belanda yang kental tetapi juga mengandung nilai sejarah. “ Selain hunting foto, saya juga bisa bisa belajar sejarah, “ ungkapnya.
Pintu masuk Benteng Vredeburg terletak di sebelah Barat dengan dikelilingi parit dan jembatan sebagai perantaranya. Bentuk Benteng Vredeburg adalah bujur sangkar dengan empat sudut, yang masing- masing sudutnya terdapat ruang penjagaan yang disebut “seleka” atau “bastion”.
Sejarah berdirinya Benteng Vredeburg ini tidak terlepas dari lahirnya Kasultanan Yogyakarta, yakni dalam Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Perjanjian Giyanti merupakan hasil politik Belanda yang berhasil mengadu domba raja- raja kerajaan Mataram, yakni antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I ). Akibat ulah Belanda inilah, akhirnya kerajaan Mataram terpecah menjadi dua kerajaan yakni Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Kasultanan Surakarta yang dipimpin Susuhunan Pakubuwono III.
Benteng Vredeburg pada mulanya dibangun oleh VOC atas persetujuan Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1760. Benteng ini berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan gubernur Belanda. Mereka menggunakan benteng ini sebagai benteng strategi, intimidasi, penyerangan dan blockade pihak Kasultanan. Hal ini terbukti dengan adanya meriam yang mengarah keselatan menuju ke kraton Yogyakarta.
Nama Vredeburg sendiri sebelumnya adalah Benteng Rustenberg. Benteng ini berubah nama menjadi Vredeburgh ketika terjadi bencana gempa bumi dahsyat pada tahun 1867. Benteng Vredeburg sendiri berarti “Benteng Perdamaian” yakni sebagai symbol pemersatu antara Belanda dengan pihak Kasultanan Yogyakarta.
Selain memiliki bangunan dengan arsitektur khas jaman Belanda tempo dulu, tempat ini juga memiliki taman kecil yang terdapat disamping kiri pintu masuk. Bagi sebagian orang, banyak dari pengunjung yang tidak mengetahui keberadaan taman ini. Halaman depan benteng yang luas sebagai tempat parkir kendaraan, baik itu bus, mobil pribadi ataupun kendaraan bermotor, menjadi penyebab utama mengapa pengunjung tidak begitu memperhatikan. Padahal taman yang ditumbuhi rerumputan hijau dan pohon- pohon besar, merupakan tempat yang pas untuk beristirahat.
Lahan Basah Mencari Rupiah
Disekitar taman sebelum pintu masuk, keramaian pedagang kaki lima terlihat berjubel menjajakan jualannya. Mereka memanfaatkan keramaian ini sebagai sarana mencari rejeki. Menurut para pedagang selain sebagai kawasan wisata tempat ini merupakan lahan untuk menyambung hidup. Salah satunya Bejo (56), seorang pedagang mainan di kawasan Benteng Vredeburg. Ia mengaku telah berjualan selama kurang lebih 8 tahun demi menghidupi keluarganya. Keadaan ekonomi yang pas- pasan memaksa dirinya mau tidak mau menjalani pekerjaan seperti ini.
Dengan ditemani sepeda onthel tua kesayangannya, ia berangkat dari daerah Sewon, Bantul pada pukul 08.00 WIB dan berharap dagangannya akan laris hari itu juga. Namun berkat istri tercinta yang selalu mendukung pekerjaannya jarak yang jauh tidak menjadi penghalang buat dirinya untuk terus berusaha demi mencari sesuap nasi. Dapur yang terus mengepul menjadi motivasi tersendiri bagi Bejo.
Berbeda dengan Rukman (24), seorang tukang parkir yang hanya lulusan SMA, mengaku sulitnya mencari pekerjaan menjadikan dirinya hanya bisa bekerja sebagai tukang parkir. Penghasilan ia didapatkanhanya cukup untuk kebutuhan sehari- hari. Namun ia tidak pernah mengeluh dengan keadaanya yang sekarang.“ terima aja lah mbak, daripada saya cuma dirumah aja nggak ngapa- ngapain, mending jadi tukang parkir kayak gini,” ujarnya.
Wahyu Meta S