“Oh, Timur adalah Timur, dan Barat adalah Barat, dan keduanya tidak akan pernah bertemu, hingga Bumi dan Langit sekarang menghadap ke Kursi Pengadilan Tuhan yang agung….” Kalimat Rudyard Kipling ini (1865-1936) disampaikan kepada kita sejak zaman penjajahan. Arkeologi, ilmu bahasa, dan ilmu genetik membuktikan bahwa kebenarannya lebih dari 90 persen: ada sebuah garis yang dalam, tegas, dan kuno antara Timur Jauh dan wilayah Eurasia lainnya…. Penduduk Asia Tenggara terpaksa menyelamatkan diri ke arah barat setelah Zaman Es menuju India, Mesopotamia, dan kemungkinan di luar wilayah ini, dan memengaruhi wilayah Barat jauh melebihi jumlah mereka. Saya juga telah menunjukkan bahwa selain bukti perpindahan fisik penduduk Asia Tenggara, keterkaitan budaya dengan wilayah tersebut dapat ditemukan dalam sebagian besar cerita rakyat dari Barat dan berbagai kisah lainnya. Baru dua ribu tahun lalu aliran budaya berbalik–dari Barat ke Timur”
Stephen Oppenheimer
Deskripsi diatas adalah sebagian kesimpulan Stephen Oppenheimer, Profesor Oxford University, dari karyanya, Eden in The East: Benua Yang Tenggelam di Asia Tenggara. Buku yang terbit berkat rekomendasi Prof. Jimly Ash-Shiddiqie ini, adalah upaya Oppenheimer dalam membuktikan adanya budaya perintis di kawasan Asia Tenggara. Awalnya beliau ditugaskan oleh institusinya ke Papua Nugini untuk meneliti penyakit malaria. Siapa saja yang sempat membaca karyanya ini, akan tercengang oleh teorinya yang berseberangan dengan teori-teori ortodoks saat ini. Oppenheimer menyebut hipotesanya sebagai Hipotesa Sundaland. Ringkasnya, Hipotesa Sundaland meyakini ada migrasi besar di kawasan Asia Tenggara akibat tiga banjir besar antara 15.000 – 7.400 tahun lalu.Apa yang menjadi kontroversi adalah pernyataaannya bahwa jalur migrasi bukanlah seperti apa yang diyakini selama ini, yaitu Taiwan-Filipina-Indonesia, lalu terus ke Pasifik. Teori ini disebut sebagai ‘Out of Taiwan’. Pencetusnya adalah Robert Blust. Sedangkan Oppenheimer berpendapat sebaliknya. Saat banjir ketiga sekitar 8000 tahun lalu, massa daratan di Sundaland lebih separuhnya tenggelam oleh serbuan air laut yang terlalu cepat dalam skala geografi. Memaksa masyarakat-masyarakat disitu berpindah ke tempat yang lebih aman. Maka dimulailah migrasi besar hingga Polinesia di Timur dan Madagaskar di Barat. Bahkan ada kemungkinan hingga ke Dunia Lama dan Timur Dekat Kuno.
Berawal dari ketertarikan saya akan banyaknya ulasan-ulasan mengenai penelitian Atlantis Prof. Arysio Dos Santos. Dari situ saya seperti diarahkan dari satu judul ke judul ulasan lainnya, tetapi memiliki kesinambungan. Mulai dari deskripsi Candi Cetho, gunung Piramid di Bandung Selatan, kebudayaan Batujaya, sampai daratan supra di tanduk tenggara Asia. Dan semua ulasan-ulasan itu, tidak butuh berpikir keras, menyimpulkan bahwa ada budaya besar yang hidup jauh sebelum ekspansi budaya dari India dan Cina.
Tak ada yang lebih membuat bulu kuduk berdiri selain ketika Oppenheimer menyebut Asia Tenggara sebagai budaya perintis. Selama ini yang kita ketahui budaya perintis untuk Asia Tenggara, Indonesia khususnya, adalah dua gelombang migrasi dari Cina, Arkeolog menyebutnya dengan ‘Proto-Melayu’ untuk gelombang pertama, dan ‘Deutero-Melayu’ untuk gelombang berikutnya. Hipotesa inilah yang menjadi kurikulum Pendidikan Nasional Negara kita sampai detik ini. Menurut Oppenheimer, selama ini sejarah Asia Tenggara melulu ke periode 2000 tahun belakangan ini, yaitu masa perdagangan dengan India dan Cina. Para Arkeolog memandang jalur migrasi yang diungkapkan oleh Robert Blust dengan ‘Out of Taiwan’ sebagai hal yang paling menjelaskan tentang asal-usul kebudayaan Asia Tenggara.
Tetapi apa yang tidak mereka sadari, masih menurut Oppenheimer, jauh sebelum kedatangan pertama budaya India dan Cina, telah ada gelombang migrasi dari Asia Tenggara ke hampir penjuru Bumi. Meski untuk hal ini, catatan-catatannya sangat sedikit. Inilah sebabnya Oppenheimer mengajak Arkeolog untuk meneliti jauh ke dasar samudera di perairan-perairan Indonesia, terutama Laut Jawa. Karena disitulah letak salah satu kawasan daratan luas yang disebut dalam ilmu geografi sebagai Sundaland. Menurutnya, ada kemungkinan akan ditemukan artefak-artefak pendukung di dasar Laut Jawa. Oppenheimer membandingkannya dengan situs Yonaguni di Taiwan, yaitu situs berbentuk Piramida terletak 25 meter dibawah permukaan laut.
Penemuan situs Yonaguni itu baginya juga membuktikan salah satu hipotesanya bahwa ada kebudayaan-kebudayaan yang lebih tua dibandingkan Sumeria dan Mesir Kuno. Lebih menantang lagi, Oppenheimer melalui perbandingan cerita banjir besar (Nabi Nuh) berupaya memberi bukti adanya jalur migrasi dari Asia Tenggara ke Timur Dekat kuno (sebutan untuk kebudayaan-kebudayaan lampau di Irak dan sekitarnya) dan memberi pengaruh budaya.
Kita boleh bangga dengan ini. Tak perlu dipungkiri, karena orang-orang Barat selalu underestimate terhadap kita. Tapi bumi sendiri memberi bukti, kita orang-orang Timur, punya kebudayaan besar yang menjauhkan kita dari prasangka bernama ‘tak-beradab’. Dan jauh sebelum pelaut Inggris berkata bangga “Britain Rules Wave”, Nenek Moyang kita telah mengumandangkan “Southeastern Rules Wind”. Hanya saja kita jangan seperti seseorang yang terlena dengan kebesaran Bapaknya tetapi orang itu sendiri tak dapat beranjak dari kehinaannya.
Ali Dosti Lubis