Beranda » Sunnatullah Kemajuan dan Kemunduran: Pelajaran dari Turki

Sunnatullah Kemajuan dan Kemunduran: Pelajaran dari Turki



Setelah runtuhnya kekhalifahan Islam Utsmani (1924). Turki di sulap menjadi sebuah negara kecil yang mencanangkan sekularisasi dan westernisasi sebagai dasar negaranya. Dengan dimotori oleh seorang Yahudi Donma, Musthafa Kamal. Sekularisme adalah sebuah gerakan yang berusaha mencabut Turki dari kebudayaan luhurnya yaitu Islam. Sedangkan gerakan westernisasi-nya Kamal berusaha menjadikan masyarakat Turki mempunyai kebudayaan seperti masyarakat Eropa.



1316849516688919499Warna hijau menunjukkan wilayah Kekhalifahan Turki Utsmani hingga sepertiga dunia


13168498191425184185Turki saat ini wilayahnya hanya 814.578 KM



Turki merupakan bangsa bukan Barat yang pertama kali menjadi modern. Namun kenyataan menunjukkan, sampai sekarang Turki belum berhasil menjadi modern. Turki merupakan dunia ketiga. Sementara kalau dari segi kultural dikontraskan dengan Jepang, maka afinitas kultural antara orang Islam dan orang Barat itu jauh lebih dekat daripada dengan orang Jepang. Tetapi Jepang ternyata lebih berhasil daripada Turki yang ‘Islam’. Dan dengan hasil yang menakjubkan, mereka jauh melampaui Turki, sehingga menimbulkan suatu pertanyaan; apa yang terjadi dengan orang Islam? Apa yang salah?



Musthafa Kamal cs berusaha memutuskan kultural masyarakat Turki dengan masa lampaunya, yang disimbolkan dengan menutup dua masjid terbesar di Turki – Masjid Aya Shopia dan Masjid Muhammad Al Fatih – dua masjid lambang peradaban Islam, menghapuskan pemakaian bahasa Arab, diganti dengan bahasa daerah Turki, sebagai rasa Chauvinisme, membunuh para ulama Islam sebagai pewaris tradisi besar agama Islam, melarang jilbab atau cadar bagi wanita, serta jubah dan surban bagi laki-laki sebagai gantinya, wanita memakai busana rok, blus atau celana gaya Eropa; sedangkan kaum laki-laki memakai setelan jas serta dasi. Pernah suatu ketika Prof. Muhammad Hamidullah, seorang cendikiawan besar muslim, diperintahkan oleh aparat untuk melepaskan torbus, peci khas Turki. Akibatnya orang Turki sekarang ini – yaitu orang Turki modern – tidak lagi bisa menggali dan memahami warisan budaya mereka sendiri. Semuanya harus dimulai lagi dari nol.



Jadi, orang Turki modern menjadi tawanan kekinian dan kedisinian, dalam arti bahwa untuk menengok ke belakang mereka tidak bisa lagi, atau tertutup, dan untuk menengok ke depan mereka harus menghadapi bangsa Eropa dan Amerika yang sudah demikian kompetitifnya. Akibatnya, Turki mengalami kemiskinan intelektual. Kita belum pernah mendengar sedikitpun karya-karya besar dari orang Turki modern.




Masyarakat Turki senantiasa disibukkan oleh masalah-masalah yang tidak mendasar. Mereka disibukkan dengan pencarian identitas diri yang tiada kunjung habis. Ketangguhan dan keberanian bangsa Turki yang dahulu sangat terkenal, kini bagaikan ‘macan kertas’. Mereka mengemis supaya masuk ke dalam jajaran masyarakat Eropa, karena mereka merasa bukan lagi sebagai bangsa Timur. Turki hanya terkenal dengan klub sepakbolanya Galatasaray dan pemain terkenalnya Hakan Sukur. Sedangkan dari sisi kemajuan teknologi, nyaris tak terdengar.



Sementara Jepang terus memelihara kesinambungan tradisi. Meskipun orang Jepang menjadi modern, tetapi mereka tidak terputus dari masa lampaunya. Dan itu juga disimbolkan dalam soal huruf, bahwa mereka tidak pernah berpikir untuk mengganti huruf Jepang dengan huruf Latin, mereka menulis syair-syair kuno (hoiku), selain produk teknologi seperti Honda, Toyota, Yamaha, Suzuki, Thosiba, Mitshubisi, dan sebagainya.



Jepang juga mengekspor kebudayaan tradisionalnya seperti pakaian tradisional (kimono), seni merangkai bunga (ikebana), upacara minum teh, sumo, pohon Bonsai, Yoga sampai makanan khas Jepang, sushi. Mereka juga tetap memegang teguh semangat ajaran Bushido (bandingkan dengan jihad) yang berarti jalan samurai sehingga menghasilkan etos kerja yang luar biasa besarnya, yang dikenal dengan sebutan ‘gila kerja’ (workalkoholics). Jadilah Jepang yang menurut John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam bukunya Megatrends 2000, sebagai raksasa ekonomi dengan julukan ‘naga raksasa’ yang siap mencaplok dunia.




Benang Merah



Menurut pandangan Ibnu khaldun, kemajuan adalah tali temali dari kekuasaan yang di segani. Kekuasaan yang kokoh tidak tercipta tanpa ditopang oleh konstruksi ekonomi yang tangguh. Ekonomi yang kuat tidak lahir kecuali penguasa melangsungkan pembangunan. Dan pembangunan hanya sia-sia bila tidak disertai pemerataan dan keadilan dalam kerangka syariah.



Secara lebih spesifik, kerangka pemikiran Ibnu Khaldun yang kemudian dikenal sebagai 8 prinsip kebijaksanaan (kalimah hikamiyyah) menyandarkan pada kausalitas (sebab akibat) berikut: (1)Kekuatan penguasa (al mulk) tidak dapat diwujudkan kecuali dengan implementasi syariah; (2) Syariah tidak dapat diwujudkan kecuali oleh penguasa; (3) Penguasa tidak dapat memperoleh kekuasaan kecuali dari masyarakat; (4) Masyarakat tidak dapat ditopang kecuali dari pembangunan (al imarah); (6) Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui keadilan (al adl); (7) Keadilan merupakan standar (al mizan) yang akan di evaluasi oleh Allah dan ummat-Nya; (8) Penguasa dibebankan untuk bertanggung jawab mewujudkan keadilan (lihat buku The Future Of Economics: Islamic Perspektive karya DR. Umer Chapra).




Rumusan Ibnu Khaldun mencerminkan kepada gabungan dari variabel-variabel sosial-ekonomi-politik yang menjadi prasarat bila sebuah negara Islam hendak ditegakkan. Variable yang dimaksud adalah syariah (S), pemerintahan (G), masyarakat (N), kekayaan (W), pembangunan (g), dan keadilan (J). (Ibid).



Semua variabel bekerja dalam sebuah lingkaran yang dinamis saling bergantung dan saling mempengaruhi. Masing-masing variabel itu membantu menjelaskan bahwa faktor politik-sosial-ekonomi untuk periode tertentu bisa menuntut suatu peradaban menuju pembangunan dan kemunduran atau kejayaan dan keruntuhan. Perlu diketahui disini, tidak ada asumsi yang dianggap tetap (cateris paribus). Sebab memang tidak ada variabel yang bersifat konstan karena satu variabel bisa menjadi pemicu sedang variabel lain dapat bereaksi ataupun tidak dalam arah yang sama. Karena kegagalan di suatu sektor tidak akan menyebar tetapi akan diperbaiki atau bila tidak, kemunduran suatu peradaban akan berlangsung lama. Namun bila sektor lain memberikan reaksi yang sama atas reaksi pemicu, maka kegagalan ini akan membutuhkan waktu yang lama untuk diidentifikasi penyebab dan akibatnya.



Bila masing-masing variabel itu digabung, maka reaksi fungsional tercermin dalam formula G=f(S,N,W,g, dan J) atau G adalah fungsi dari variabel (S,N,W,g, dan J). G ditempatkan sebagai variabel dependent (tergantung) karena G dalam hal ini kelangsungan peradaban, kajayaan atau keruntuhan, dipengaruhi 5 variabel tersebut. Secara sederhana bisa dibaca, bahwa penguasa (G) harus menjamin kesejahteraan masyarakat (N) dengan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk jalannya pembangunan (g) dan keadilan (J) melalui implemantasi syariah (S) dan pembangunan dan pemerataan distribusi kekayaan (W). Bila tidak dipenuhi, maka kekuasaan tinggal menunggu waktu redupnya. Wallahu a’lam bish shawwab<
Chandra Kurniawan