Perjalanan darat dari Surabaya ke Jogjakarta ditempuh dalam waktu 8 jam. Jumat (21/10) pukul 5 pagi, saya sampai di Jogjakarta. Pagi itu juga kami berempat segera mencari jalan Malioboro letak Hotel Inna Garuda. Maklum karena tak satupun dari kami yang tahu seluk-beluk kota Jogjakarta, sehingga dengan mengandalkan papan jalan dan peta digital berbasis GPS dari handphone akhirnya kami sampai juga di jalan Malioboro.
Namun di sebuah perempatan jalan yang saya lewati, sekilas saya melihat sebuah tugu yang tampak berarsitektur cukup tua dengan bentuk menjulang tinggi. Barusan saya googling dan mendapatkan informasi kalau nama tugu tersebut asalnya bernama Tugu Golong Gilig dan sekarang dikenal sebagai Tugu Jogja. Hal yang membuat saya terkejut adalah adanya simbol-simbol yang menghiasi tugu tersebut bukan asli simbol yang biasa digunakan oleh orang Jawa atau Indonesia pada umumnya. Bentuknya berupa Bintang David dengan kombinasi 2 segitiga yang dipasang terbalik. Simbol ini biasa digunakan oleh orang-orang Zionis seperti yang ada pada bendera Israel. Saya pikir ini hal aneh. Bagaimana bisa sebuah simbol Bintang David dari negeri yang jauh sekali bisa menempel di tugu yang dibangun pada tahun 1889.
Karena saya tidak sempat turun dan mengambil gambar Tuga Jogja tersebut, saya coba untuk googling dan menemukan sebuah foto Tugu Jogja yang cukup bagus di www.moreindonesia.com. Saya tidak menemukan satupun cerita asal muasal pembangunan tugu tersebut di website tersebut. Namun sebuah gambar tambahan dari website tersebut menjelaskan 2 gambar tugu yang menjelaskan perubahan bentuk tugu.
Hasil penelusuran saya juga menemukan sebuah blog yang membahas sejarah perubahan bentuk tugu tersebut. kalau Tugu Golong Gilig yang dibangun pada 1756 itu tingginya 25 meter, dibangun oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I sebagai pendiri Kasultanan Jogjakarta setelah pecahnya Kerajaan Mataram Islam menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada perjanjian Giyanti 1755.
Perubahan bentuk tugu dengan mencantumkan Bintang David pada bagian tengah tugu tersebut ternyata terjadi saat renovasi tugu yang dilakukan oleh JWS van Brussel selaku kepala pekerjaan umum Kolonial Belanda (Opzichter van Waterstaat). Tugu tersebut kemudian disebut De Witte Paal (Tugu Putih). Tidak jelas maknanya apakah karena tugunya diberi warna putih, atau hal tersebut sebagai tanda hegemoni orang kulit putih (Kolonial Belanda) di Jogjakarta.
Yang jelas rasa penasaran saya terjawab. Tugu dengan simbol bukan asli Jawa tersebut hasil arsitektur dan ‘perbuatan’ Kolonial Belanda yang memang banyak meninggalkan jejak Bintang David, Illuminasi, Brotherhood of Snake, dan berbagai simbol yang berhubungan dengan kaum Zionis. Ditengarai memang ada cukup banyak orang Yahudi yang menjadi warga negara Belanda dan menjadi bagian dari orang-orang Kolonial Belanda.
Kapan Sri Sultan Hamengkubuwono X akan menghapus jejak Zionis tersebut dari Jogja? Tidakkah lebih baik bentuk tugu dikembalikan pada bentuk dan filosofi Tugu Golong Gilig? Ah saya sih bukan warga Jogja. Terserah derek-derek sedoyo Wong Jogja saja deh
Choiron