November 1st, 2009 lalu…cuaca ramah untuk sebuah perjalanan menantang. Berbekal motor dan kamera hape, meniti jalan–meliuk dan menanjak menuju sisi timur Sleman, Yogyakarta, yang menyimpan cerita masyarakat dari masa yang telah lewat: bukan candi Prambanan, bukan pula candi Ratu Boko. Candi Ijo, begitulah candi dengan letak paling tinggi ini disebut. Letak candi ini tepatnya di kawasan desa Sambirejo, melewati gumuk (bukit) Ijo. Bak Gunungkidul di Sleman, jalan yang dilewati terjal, berkapur, berbatu, dan diiringi kupu-kupu pohon jati yang berterbangan. Namun demikian, sesampainya di candi Ijo tak ada kata lain selain ‘puas’ karena dari sini dapat dilihat pemandangan kota Yogyakarta yang menawan.
Candi Ijo dibangun sejak abad ke-9. Memasuki bangunan pagar, dapat dilihat berbagai ornamen dan ragam hias. Konon katanya, di candi ini ditemukan beberapa arca, namun demi keamanan, arca-arca tersebut disimpan di kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Keberadaan arca Narasinga (Narasimha) di sekitar kawasan candi ini menjadi hal yang menarik. Narasinga adalah mahkluk berkepala singa dan bertubuh manusia, yang merupakan Awatara (manifestasi) dari Dewa Wisnu. Konon, Dewa Wisnu menjelma menjadi Narasinga untuk membunuh raksasa yang bernama Hiranyakasipu.
Di candi ini juga terlihat adanya pemujaan terhadap Dewa Siwa dan Dewi Parwati. Pemujaan terhadap Dewa Siwa biasanya ditunjukan dengan adanya arca Dewa Siwa juga lingga dan yoni yang terdapat di kawasan candi. Pemujaan terhadap keduanya merupakan suatu bentuk pengharapan agar tidak terjadi bencana, sekaligus mengharapkan kesuburan.
Belum puas menikmati candi Ijo, petualangan diteruskan ke candi Barong. Katanya, kalau perjalanan menuju candi Barong harus turun terus sampai bertemu gapura dusun berwarna hijau dibawah SMP Negeri 4 Prambanan. Ya, lurus saja mengikuti jalan. Seolah berada di negara antah berantah, jalanan menuju candi Barong bisa dibilang jelek, berbatu, menanjak dan kadang turun tajam. Alhasil, di persimpangan jalan, terhentilah di sebuah masjid. Rehat sembari menatap para penduduk yang memandikan ternaknya di sebuah telaga.
Usai rehat, pengembaraan diteruskan, kira-kira setelah 4 km meniti bukit cadas, hingga bertemu dengan Benteng Takeshi! hehe. Sekilas memang candi Barong mirip dengan benteng. Hal yang menggelitik saat memasuki kawasan candi ini adalah adanya domba-domba yang sesat yang sedang memamah biak dengan cueknya. Ya, karena candi ini menyuguhkan rumput-rumput menghijau. Pemandangan yang menawan: bukit menghijau, sawah-sawah, dan dari salah satu sisi bukit nampak ‘pantat’ candi Ratu Boko
Candi Barong mempunyai 3 pelataran. Pelataran depan dan tengah tidak mempunyai bangunan. Pelataran candi ini luas, benar-benar cocok untuk acara seperti pesta besar. Mungkin, dulunya rakyat berkumpul disini untuk musyawarah atau saat acara adat. Sangat sesuai digunakan untuk acara pernikahan. Akan tetapi, agaknya kendaraan besar kesulitan mencapai kawasan ini, kecuali kalau digunakan helicopter, sepertinya cocok
Candi ini tidak mempunyai pintu masuk sehingga untuk menikmatinya cukup dengan memanjat, mengagumi arsitekturnya, dan berfoto-foto ria
Konon katanya, periode pembangunan candi Barong hingga kini belum diketahui dengan pasti. Hal ini dikarenakan belum adanya prasasti yang mencatat kisah pembangunan candi ini. Namun, berdasarkan pola hias, arca, dan ornamen bangunan lainnya, diperkirakan candi Barong dibangun sekitar abad IX-X Masehi. Penempatan candi lebih ke hal spirit giri (gunung), ibarat berdoa ditempat tinggi lebih terkabul karena dekat dengan tempat dewa-dewa khayangan (mithology jawa), itulah mengapa abad IX – X banyak ditemukan arca dan candi di merapi, dieng, ungaran, lawu, bromo. Candi ini sendiri, kali pertama ditemukan pada tahun 1913 oleh seorang berkebangsaan Belanda. Pada masa itu, Belanda tengah melakukan perluasan pertanian tebu, untuk pengembangan produksi gula. Di tengah proyek perluasan inilah, reruntuhan candi Barong ditemukan. Meski telah ditemukan di tahun 1913, baru 65 tahun kemudian candi Barong mulai direncanakan untuk dipugar. Bahkan, tahun 1994, candi pertama baru selesai dipugar.
Dari arca dan ragam hias yang terdapat di masing-masing candi, diduga bahwa salah satu candi digunakan untuk memuja Dewa Wisnu sementara candi lainnya untuk memuja Dewi Sri. Dari arca dan ragam hias tersebut, dapat terlihat bahwa candi Barong merupakan candi yang berlatar belakang agama Hindu. Hal ini menjadi menarik, karena biasanya candi yang dibangun oleh pemeluk agama Hindu, merupakan tempat pemujaan terhadap Dewa Siwa dan istrinya. Adanya arca Dewa Wisnu (dewa pemelihara dan pelindung) dan Dewi Sri (dewi kesuburan) menggambarkan pemujaan terhadap keduanya. Pemujaan terhadap Dewi Sri ini diduga karena budaya agrarisnya, sri berarti rejeki atau subur, ini bisa diartikan subur tanah garapan pertanian atau subur dari segi keturunan.
Sungguh menarik ternyata mendulang sejarah melalui penjelajahan. Situs purbakala tanah air memang hanya onggokan batu yang membisu, tetapi menjadi potret peradaban masa yang telah lewat. Sayangnya, sepertinya pemerintah belum cantik mengemas pengembangan potensi ini.
Rahmi Munfangati