Rumah Bude sangat besar, dibanding rumah sekitarnya — rumah Bude dengan arsitektur lebih muda. Memang di jalan yang lebih mirip dengan gang besar itu — mobil harus hati-hati bila berpapasan.
Rumah utamanya dengan ruang tamu dan ruang keluarga yang sangat luas, tidak tahu pasti berapa kamar di situ — di lahan yang luas itu site plan rumah itu mirip huruf U. kami tinggal di sayap U di seberang taman. Depan sekali kamar semacam pavilion itu tinggal Zainal SE manager di BAT — lantas kamar kosong, baru kamar yang ditempati — kamar-kamar lain tidak diketahui siapa yang menempati — yang terang makin di belakang terdapat dapur dan kamar para pembantu.
Ada 3 pembantu di sana selain tukang cuci yang pulang hari — tampaknya satu di antara mereka itu masih perawan, tugas apa tidak diketahui, lantas tukang masak, dan satu orang wanita gemuk, hitam dengan mata yang terbelalak.
O ya, di kamar dalam ada Miranti dan Etty — keduanya apoteker. Tentunya Bude juga berkamar di sana. Kami di waktu makan, atau kapan saja mau makan, juga di ruang makan yang luas di rumah besar itu.
Pantas Suami Bude almarhum, adalah Direksi Pabrik Gula di Palimanan. Rumah itu dengan prabotannya sudah memperjelas betapa makmurnya keluarga itu.
Miranti, salah satu dari apoteker itu pindah ke Jakarta — tinggallah Etty seorang sekarang di sana. Etty adalah gadis tertutup, tetapi kalau rajin merayunya — ia dengan berat hati mau diajak makan bersama.
Berikut Zainal pun pindah — rumah besar itu tambah sepi, gadis Etty satu-satunya kawan yang bisa diajak kompromi makan bersama, dari pada terus-terusan makan berdua dengan Bude, yang umurnya saja telah melampaui 80 tahunan.
Giliran mendapat rumah kontrakan dinas, sebelum pindah merayu Bude — karena di gudang ternyata banyak sekali barang rongsokan yang antik.
“De, saya lihat di gudang ada bingkai lusuh tidak terpakai nampaknya — saya senang profil dan kayunya. Tampaknya ajaib Bude”
“Di mana ?”
“Di gudang — kursi jati dan meja yang tidak terurus juga banyak itu bude, saya hanya berminat dengan bingkai itu”.
Bingkai itu mau dibayari Bude tidak mau — dia hanya menjelaskan sedikit sejarah bingkai itu, setelah benda itu ditunjukkan.
“Yo, Priyo — barang-barang itu warisan nenekmoyang Bude seorang Demang — sudah turun temurun mengurusnya, sampailah kini menjadi barang rongsokan — keponakan Bude ada yang ingin mengurus perobot-perabot bodol itu — tetapi entah mengapa tidak diambil-ambil, kalau kamu mau bingkai jelek itu. Ambillah !”
Bingkai itu kira-kira berukuran 60 x 100 cm — tidak dicat, mungkin dulunya semacam dipolitur, sudah kusam. Yang menarik bingkai itu diprofil lurus dalam 7 barisan, memang ada sedikit yang menarik, sudut kanan sambungan profil yang begitu rapi, sedikit renggang di sudut bawah — tidak mengerti mengapa pojok yang merekah itu menarik hati. Di bersihkan semua bagiannya. Tampak tekstur kayu yang bukan main indahnya.
“De, jangan-jangan bingkai antik berasal kayu dari Eropa De — apalagi Bude katakan, dulunya lukisan seorang gadis Noni Belanda”
“Ya, lukisan itu hasil rampokan kaum pemberontak Bagus Rangin — jelek-jelek Bude ini ada garis keturunan Bagus Rangin — seorang letnan Serdadu Belanda, mungkin yang bernama Ellout Junior — Noni itu akan dipertunangkan dengan perwira dari Semarang itu. Mungkin rencananya lukisan itu akan dibawa pulang nantinya ke Semarang — nasibnya naas ia tertangkap pasukan Bagus Rangin dan dipancung di Ciwaringin — pemberontak lantas merampok dan membumi hangus rumah-rumah Demang, Bupati dan Residen Servitius…………..lukisan itu turun-temurun tidak terurus — bahkan setelah satu cabang nenek moyang mendapat giliran menjadi Demang di Rajagaluh “
Biasa Bude nginang sebelum melanjutkan ceritanya.
“Dulu di taruh di rumah dinas Pakde di Palimanan – dibawa-bawa pindah karena ada nilai sejarah Kepahlawan Orang Cirebon, berontak terhadap Belanda — tetapi memang tidak terurus. Dan anehnya ………….dari gudang selalu terdengar tangisan, dan bisik-bisk dengan bahasa Belanda — tetapi lama-kelamaan anak-anak dan seluruh keluarga tidak ambil open, tidak takut ………… sampailah sekarang. Ya uruslah bingkai itu”
“Yang menangis lukisan di bingkai ini De”
“Bli ngerti — lukisan itu sudah tidak utuh lagi, dulu turut dibakar bersama jok-jok yang bodol”
“Masih menangis setelah lukisan itu dibakar habis Bude”
“Bli ngerti” Konon menurut Orang-orang yang tinggal di kamar-kamar dekat gudang. “Memang terkadang masih terdengar tangisan dan kata-kata merdu dalam bahasa Belanda.”
Kepalang.
Di sesuaikan dengan motif profil, di dapatlah gambar seorang gadis berwajah Eropa sedang membaca buku — setelah melewati proses printing, ukuran gambar, suasana antik itu dikerjakan oleh Ce’ Ying — Orang Cina tukang figura di Winaon
Kepalang.
Supaya keluarga jangan takut dan panik dengan bingkai misteri — penuh rahasia itu dipajang di kamar kantor. Di beri judul “Permata dari dalam Bumi” (entah mengapa — begitu saja ilham tercetus).
Kalau bekerja sampai malam, bahkan larut malam — dibiarkan saja bingkai itu berbicara dengan nada dan intonasi ber-puisi, Suaranya lembut tidak menakutkan. Ia berbisik-bisik, membacakan puisi.
Kepalang — ikhlas pula setiap bulan purnama, dari celah sambungan profil, yang tidak bisa disambung sempurna oleh Ce’Ying — selalu mengeluarkan getah kayu berwarna merah darah. Darahkah itu ?
Kepalang (itulah yang kukerjakan dengan ikhlas — mengurusnya)
Muhammad Wislan Arif