Beranda » Diaspora Nenek Moyang Asia-Eropa dari Asia Tenggara

Diaspora Nenek Moyang Asia-Eropa dari Asia Tenggara




DIASPORA NENEK MOYANG ASIA

Buku ini -dan lebih dari 30 makalah- yang ditulis Oppenheimer dengan beberapa rekannya selama 12 tahun menghasilkan hipotesa utama bahwa sebagian besar nenek moyang bangsa Polinesia lahir di Melanesia dan Asia Tenggara

(Hendri Isnaeni, Seputar Indonesia, Oktober 2010)


Buku ini menjelaskan tentang nenek moyang bangsa Asia Tenggara yang berdiaspora karena diusir banjir. Asia Tenggara merupakan salah satu daerah dengan budaya yang paling beragam, paling tua, dan paling kaya di bumi. Namun, para ahli sejarah telah lalai dengan beranggapan bahwa budaya Asia Tenggara hanyalah cabang sekunder dari peradaban Asia daratan di India dan China. Pandangan menyepelekan ini tidak menghiraukan bukti masa lalu dan kerumitan yang unik. Bagi Stephen Oppenheimer, justru sebaliknya. Asia Tenggara merupakan pusat asal-usul budaya dan peradaban dunia.

Ketertarikan Oppenheimer terhadap Asia Tenggara berawal ketika pada tahun 1972 silam, dia menjadi dokter dan bekerja di beberapa rumah sakit yang tersebar di Asia Tenggara. Puncaknya saat menjadi dokter terbang di Borneo. Di saat senggang, dia bepergian ke Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Keanekaragaman budaya membuatnya takjub, melebihi hasil pelancongannya di Eropa, Maroko, dan Timur Tengah.Meski Oppenheimer menyadari bahwa AsiaTenggara telah meminjam banyak -dalam hal agama dan ide- dari tetangga mereka di India dan China daratan, juga dari Barat. Namun, dia mempertanyakan peradaban yang telah ada sebelum kedatangan budaya India, Cina dan Barat itu.Rasa penasaran Oppenheimer semakin memuncak setelah menyelesaikan kontrak dua tahun sebagai dokter anak. pemerintah Papua Nugini pada 1978. Setahun kemudian dia kembali ke Papua Nugini sebagai seorang akademisi untuk melakukan penelitian tentang anemia pada anak-anak di pantai utaraPapua Nugini.Oppenheimer berbicara kepada sesepuh desa tentang hasil awal penelitian, serta memberitahukannya tentang perbandingan genetis dalam darah anak-anak dari desa-desa tertentu di sepanjang garis pantai utara.

Sesepuh desa menatap Oppenheimer dengan penuh penasaran, dan dia mengatakan bahwa anak-anak itu adalah keturunan Kulabob. Belakangan, Oppenheimer tahu bahwa sesepuh itu sedang mengacu pada sebuah mitos migrasi kuno “Kulabob dan Manup” yang terkenal bagi orang-0rang pesisir.



Mitos ini belakangan juga dikenali oleh para antropolog sebagai sebuah mitos migrasi. Dan para penduduk desa keturunan Kulabob yang berpindah ini menuturkan bahasa-bahasa yang mirip dengan orang-orang di Asia Tenggara dan Polinesia. Mutasi genetis pada anak-anak Kulabob di sepanjang pantai utara Papua Nugini, tahan terhadap malaria dan ternyata merupakan penanda kunci yang menaungi jejak migrasi orang-orang Polinesia ke Pasifik. Para keturunan Manup dianggap sebagai orang Papua asli yang telah bermigrasi ke Papua Nugini jauh lebih awal sclama Zaman Es, dan sebagian besar melewati jaringan darat-kajian tentang jejak genetis ini masih berlanjut ketika buku ini ditulis.


Oppenheimer mulai bertanya-tanya: apa yang mendorong orang-orang kuno Asia Tenggara meninggalkan kampung halamannya yang rindang dan subur, mereka berlayar di luasnya perairan Pasifik, meninggalkan “sidik jari” genetis, budaya, dan bahasa di sepanjang utara Papua Nugini dalam perjalanan mereka ke timur ?


Dengan menggunakan pisau bedah penelitian geologi, arkeologi, linguistik, dan genetika, Oppenheimer menemukan bahwa orang-orang kuno Asia Tenggara bermigrasi karena diusir oleh banjir.


Sebelum banjir dahsyat, Asia Tenggara merupakan pulau besar yang membentuk sebuah benua berukuran dua kali India pada puncak Zaman Es sekitar 20.000 sampai 18.000 tahun lalu. Meliputi Indo-China, Malaysia, dan Indonesia, Laut Cina Selatan dan Teluk Thailand dan Laut Jawa yang dulunya kering, imembentuk bagian-bagian yang menghubungkan benua tersebut. Secara geologis, benua yang setengah tenggelam ini disebut paparan Sunda atau Sundaland


Banjir besar secara berturt-turut pada 14.000,11.500, dan 8.000 tahun lalu,telah menaikkan air laut setinggi 120 meter. Daerah dataran rendah Asia Tenggara tenggelam seluas India. Yang tertinggal hanya pulau-pulau pegunungan yang terpencar-pencar. Daratan yang dulu membentang di antara Korea, Jepang, China, dan Taiwan, kini disebut Laut Kuning dan Laut China Timur. Pelabuhan-pelabuhan masa kini di sepanjang garis pantai selatan China, seperti Hong Kong, pada Zaman Es adalah daratan yang pan jangnya ratusan mil.


Ketika kenaikan air laut mencapai puncaknya pada 8.000 tahun lalu, rangkaian migrasi terakhir dari penduduk Asia Tenggara dimulai. Dengan rute-rute migrasi:


ke selalan meuju Australia. Ke timur menuju Pasifik. Ke barat masuk ke Samudra Hindia.Dan ke utara masuk ke Daratan Asia.



Keturunan masa kini dari para pengungsi timur di Pasifik, mendiami banyak pulau Melanesia, Polinesia, dan Micronesia, menuturkan bahasa dari rumpun Austronesia, yang juga digunakan oleh penduduk Asia Tenggara. Dalam perjalanan, mereka membawa binatang domestik dan tanaman-makanan dalam kano-kano laut yang besar. Beberapa di antara mereka yang lari ke barat membawa tumbuhan beras (padi) ke India. Mereka yang berasal dari Asia Tenggara utara lari ke Indo-China dan Asia, membangun budaya-budaya rumit di China Barat Daya,


Burma (Mynnmor), dan Tibet. Mereka menuturkan bahasa dari rumpun bahasa besar Asia Tenggara lainnya: Austro-Asiatik, Tibeto-Burman, dan Tai-Kadai.


Di atas itu semua, penyebaran awal akibat banjir besar itu telah membangun jalur-jalur komunikasi dan perdagangan ke seluruh Eurasia dan Pasifik Selatan yang kemudian memastikan arus yang cepat dan berkelanjutan berisi pemikiran, pengetahuan, dan keahlian.


Buku ini -dan lebih dari 30 makalah- yang ditulis Oppenheimer dengan beberapa rekannya selama 12 tahun menghasilkan hipotesa utama bahwa sebagian besar nenek moyang bangsa Polinesia lahir di Melanesia dan Asia Tenggara. Beberapa makalah juga menunjukkan bahwa garis gen ini berasal dari Indonesia dan Polinesia sebelum 5.000 tahun lalu, sebagian sebelum Zaman Es terakhir.

Dengan demikian, tak terelakkan lagi keberlangsungan genetik penting di Indonesia lebih dari ribuan tahun. Tingkat keberlangsungan genetik ini bertentangan dengan pendapat kaum ortodoks yang mengatakan bahwa para petani padi dari Taiwan yang berbahasa Austronesia telah menggantikan bekas penduduk Asia Tenggara 3.500 tahun lalu.