Memasuki Yogyakarta tidak pernah habis bahan untuk membicarakannya. Terlalu banyak hal bisa diungkap tentang Yogyakarta, salah satunya adalah Kraton. Anda pernah mengunjungi Kraton Yogyakarta ? Syukurlah kalau sudah. Karena banyak warga Yogyakarta yang bahkan belum pernah mengunjunginya.
Kraton Yogyakarta kembali banyak dibicarakan masyarakat dunia setelah belum lama berlangsung pesta pernikahan putri Sultan. Masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, bahkan banyak tamu manca negara hadir menyaksikan acara adat pernikahan keluarga Raja Yogyakarta tersebut.
Saya mengajak anda selintas mengenal Kraton Yogyakarta, agar tidak sekedar mengenal acara pernikahan putri Sultan saja. Namun bisa memasuki secara lebih dalam berbagai hal terkait Kraton Yogyakarta. Ini sekaligus kesempatan saya kembali mengulang belajar sejarah dan peradaban sebuah kerajaan di Nusantara. Saya rangkum saja berbagai informasi sekitar Kraton Yogyakarta dari berbagai sumber yang saya cantumkan di bagian akhir tulisan ini.
Kraton Yogyakarta dibangun tahun 1756 Masehi atau tahun Jawa 1682 oleh Pangeran Mangkubumi Sukowati yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Setelah melalui perjuangan panjang antara 1747-1755 yang berakhir dengan Perjanjian Gianti. Sebelum menempati Kraton Yogyakarta yang ada saat ini, Sri Sultan Hamengku Buwono I atau Sri Sultan Hemengku Buwono Senopati Ingalogo Ngabdulrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah tinggal di Ambar Ketawang Gamping, Sleman. Lima kilometer di sebelah barat Kraton Yogyakarta.
Dari Ambar Ketawang Ngarso Dalem menentukan ibukota Kerajaan Mataram di Desa Pacetokan. Sebuah wilayah yang diapit dua sungai yaitu sungai Winongo dan Code. Lokasi ini berada dalam satu garis imajiner Laut Selatan, Krapyak, Kraton, dan Gunung Merapi.
Bangunan Kraton
Bangunan Kraton Yogyakarta sedikitnya terdiri tujuh bangsal. Masing-masing bangsal dibatasi dengan regol atau pintu masuk. Keenam regol adalah Regol Brojonolo, Sri Manganti, Danapratopo, Kemagangan, Gadungmlati, dan Kemandungan. Kraton diapit dua alun-alun yaitu Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan. Masing-masing alun-alun berukurang kurang lebih 100×100 meter. Sedangkan secara keseluruhan Kraton Yogyakarta berdiri di atas tanah 1,5 km persegi.
Bangunan inti kraton dibentengi dengan tembok ganda setinggi 3,5 meter berbentuk bujur sangkar (1.000 x 1.000 meter). Sehingga untuk memasukinya harus melewati pintu gerbang yang disebut plengkung. Ada lima pintu gerbang yaitu Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan di sebelah Timur Laut kraton; Plengkung Jogosuro atau Plengkung Ngasem di sebelah Barat Daya; Plengkung Joyoboyo atau Plengkung Tamansari di sebelah Barat; Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gading di sebelah Selatan; Plengkung Tambakboyo atau Plengkung Gondomanan di sebelah Timur.
Dalam benteng, khususnya yang berada di sebelah selatan dilengkapi jalan kecil yang berfungsi untuk mobilisasi prajurit dan persenjataan. Keempat sudut benteng dibuat bastion yang dilengkapi dengan lubang kecil yang berfungsi untuk mengintai musuh.
Penjaga benteng diserahkan pada prajurit kraton di antaranya, Prajurit Jogokaryo, Prajurit Mantrijero, dan Prajurit Bugis. Prajurit Jogokaryo mempunyai bendera Papasan dan tinggal di Kampung Jogokaryan. Prajurit Mantrijero dilengkapi dengan Bendera Kesatuan Purnomosidi dan tinggal di Kampung Mantrijeron. Prajurit Bugis yang berbendera Kesatuan Wulandari tinggal di Kampung Bugisan.
Karaton, Kraton atau Kraton, berasal dari kata ka-ratu-an, yang berarti tempat tinggal ratu/raja. Sedang arti lebih luas, diuraikan secara sederhana, bahwa seluruh struktur dan bangunan wilayah Kraton mengandung arti berkaitan dengan pandangan hidup Jawa yang essensial, yakni Sangkan Paraning Dumadi (dari mana asalnya manusia dan kemana akhirnya manusia setelah mati).
Garis besarnya, wilayah Kraton memanjang 5 km ke arah selatan hingga Krapyak dan 2 km ke utara berakhir di Tugu. Pada garis ini terdapat garis linier dualisme terbalik, sehingga bisa dibaca secara simbolik filosofis. Dari arah selatan ke utara, sebagai lahirnya manusia dari tempat tinggi ke alam fana, dan sebaliknya sebagai proses kembalinya manusia ke sisi Dumadi (Tuhan dalam pandangan Jawa). Sedangkan Kraton sebagai jasmani dengan raja sebagai lambang jiwa sejati yang hadir ke dalam badan jasmani.
Kraton menuju Tugu juga diartikan sebagai jalan hidup yang penuh godaan. Pasar Beringharjo melambangkan godaan wanita. Sedangkan godaan akan kekuasaan dilambangkan lewat Gedung Kepatihan. Keduanya terletak di sebelah kanan. Jalan lurus itu sendiri sebagai lambang manusia yang dekat dengan Pencipta (Sangkan Paraning Dumadi).
Secara sederhana, Tugu perlambangan Lingga (laki-laki) dan Krapyak sebagai Yoni (perempuan), dan Kraton sebagai jasmani yang berasal dari keduanya.
Setelah diguncang gempa tahun 1867, Kraton mengalami kerusakan berat. Pada masa HB VII tahun 1889, bangunan tersebut dipugar. Meski tata letaknya masih dipertahankan, namun bentuk bangunan diubah seperti yang terlihat sekarang
Tugu dan Bangsal Manguntur Tangkil atau Bangsal Kencana (tempat singgasana raja), terletak dalam garis lurus, ini mengandung arti, ketika Sultan duduk di singgasananya dan memandang ke arah Tugu, maka beliau akan selalu mengingat rakyatnya (manunggaling kawula gusti).
Tatanan Kraton sama seperti Kraton Dinasti Mataram pada umumnya. Bangsal Kencana yang menjadi tempat raja memerintah, menyatu dengan Bangsal Prabayeksa sebagai tempat menyimpan senjata-senjata pusaka Kraton (di ruangan ini terdapat lampu minyak Kyai Wiji, yang selalu dijaga abdi dalem agar tidak padam), berfungsi sebagai pusat. Bangsal tersebut dilingkupi oleh pelataran Kedhaton, sehingga untuk mencapai pusat, harus melewati halaman yang berlapis-lapis menyerupai rangkaian bewa (ombak) di atas lautan.
Tatanan spasial Kraton ini sangat mirip dengan konstelasi gunung dan dataran Jambu Dwipa, yang dipandang sebagai benua pusatnya jagad raya. Dari utara ke selatan area Kraton berturut-turut terdapat Alun-Alun Utara, Siti Hinggil Utara, Kemandhungan Utara, Srimanganti, Kedhaton, Kemagangan, Kemandhungan Selatan, Siti Hinggil Selatan dan Alun-Alun Selatan (pelataran yang terlindung dinding tinggi).
Sedangkan pintu yang harus dilalui untuk sampai ke masing-masing tempat berjumlah sembilan, disebut Regol. Dari utara terdapat gerbang, Pangurukan, Tarub Agung, Brajanala, Srimanganti, Kemagangan, Gadhung Mlati, Kemandhungan dan Gading. Brongtodiningrat memandang penting bilangan ini, sebagai bilangan tertinggi yang menggambarkan kesempurnaan. Hal ini terkait dengan sembilan lubang dalam diri manusia yang lazim disebut babahan hawa sanga.
Kesakralan setiap bangunan Kraton, diindikasikan dari frekuensi serta intensitas kegiatan Sultan pada tempat tersebut. Alun-Alun, Pagelaran, dan Siti Hinggil, pada tempat ini Sultan hanya hadir tiga kali dalam setahun, yakni pada saat Pisowan Ageng Grebeg Maulud, Sawal dan Besar. Serta kesempatan yang sangat insidental yang sangat khusus misal pada saat penobatan Sultan dan Penobatan Putra Mahkota atau Pangeran Adipati Anom.
Para Sultan Kraton YogyakartaMasa pemerintahan Kraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono I (GRM Sujono) memerintah tahun 1755-1792 disusul Sri Sultan Hamengku Buwono II (GRM Sundoro) memerintah tahun 1792-1812. Sri Sultan Hamengku Buwono III (GRM Surojo) memimpin tahun 1812-1814, kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono IV (GRM Ibnu Djarot) memerintah tahun 1814-1823 diteruskan Sri Sultan Hamengku Buwono V (GRM Gathot Menol) memerintah tahun 1823-1855. Sri Sultan Hamengku Buwono VI (GRM Mustojo) memerintah tahun 1855-1877 dan dilanjutkan Sri Sultan Hamengku Buwono VII (GRM Murtedjo) memerintah tahun 1877-1921.
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (GRM Sudjadi) memerintah tahun 1921-1939, seterusnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX (GRM Dorojatun) memimpin tahun 1940-1988, dan akhirnya Sri Sultan Hamengku Buwono X (GRM Hardjuno Darpito) memimpin tahun 1989 - sekarang.
Kekayaan Budaya Dunia
Kraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Kraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika banyak nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Kraton Yogyakarta yang sangat menarik wisatawan dalam maupun luar negeri, sekaligus menjadi pusat studi dunia.
Untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Keraton_Ngayogyakarta_Hadiningrat
Setiya