Budayawan Jambi Nukman SS mengatakan seorang ahli filologi dari Hawaiy University Amerika Serikat, Uli Kozok dalam risetnya menyimpulkan naskah melayu tertua di dunia ada di Kerinci.
"Dalam kesimpulan riset dari riset yang dilakukannya di tiga negara yakni Indonesia, Malaysia dan Belanda, filolog Dr Uli Kozok menyimpulkan bahwa naskah Melayu tertua ada di Kerinci, tepatnya di Desa Tanjung Tanah," kata Nukman SS ketika dihubungi di Jambi, Sabtu.
Naskah tersebut, kata dia, menurut riset Uli Kozok ternyata jauh lebih tua 200 tahun dibanding dengan naskah surat raja Ternate yang sebelumnya dinyatakan sebagai naskah melayu tertua di dunia. Naskah kitab undang-undang Tanjung Tanah diperkirakan dikeluarkan pada abad 14.
Menurut Nukman, kesimpulan Uli Kozok tersebut juga didasari atas uji radio karbon yang dilakukan pihaknya di Wellington, Selandia Baru atas sampel bahan kertas Daluang (samakan kulit kayu) yang digunakan untuk penulisan naskah itu. "Uli Kozok dari hasil uji radio karbon yang sangat akurat prediksinya itu menegaskan kalau Daluang yang digunakan untuk media penulisan naskah tersebut bisa dipastikan ditebang pada rentang waktu antara abad 12 hingga 13," katanya.
Dari usia itulah, menurut dia dapat diprediksikan penulisan naskah itu pun berkisar tidak jauh dari abad itu, maksimal pada abad ke 14 naskah itu telah dibuat.
Sesuai catatan sejarah pula, kata dia kalau pada masa itu Kerajaan Melayu yang beribukota di Darmasyaraya (sebuah kabupaten pemekaran Sumbar, tetangga dekat kabupaten Kerinci) diperintah oleh Raja Adityawarman, itu sedang pada masa puncak kejayaannya.
Prediksi umur naskah Kitab Undang-undang Tanjung Tanah itu pun juga berdasarkan pada analisa jenis aksara yang digunakan.
Meskipun diketahui Kerinci sudah dari masa sebelumnya telah memiliki aksara sendiri yakni aksara `Incoung`, namun empunya yang menuliskan kitab tersebut menggunakan aksara pasca-Pallawa, bukan aksara Pallawa dan bukan pula aksara Jawa kuno. "Karena itu, Uli Kozok menyimpulkan naskah tersebut pasti dikeluarkan oleh pihak kerajaan yakni raja Adityawarman, yang tengah gencarnya membangun imej pemerintahannya sendiri mengingat pada masa itu adalah era mulai melemahnya pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu-Budha besar di pulau Jawa," katanya.
Aksara Incoung, kata dia meskipun telah menjadi aksara asli yang sudah digunakan secara umum oleh masyarakat Kerinci masa itu, namun bagi pihak kerajaan aksara itu dianggap aksaranya kaum Sudra atau rakyat jelata.
Orang luar Kerinci menyebut aksara itu sebagai `Surat Ulu` yang artinya aksara dari pedalaman sebagaimana posisi Kerinci sendiri yang memang berada di pedalaman Bukit Barisan.
"Oleh karena itu, menurut Uli Kozok penggunaan aksara itu tidak terlepas dari politik Adityawarman sendiri yang sangat terobsesi untuk membangun kerajaannya sendiri yang mandiri hingga mampu melepaskan diri dari pengaruh kerajaan besar di Jawa, maka dia menggunakan aksara sendiri yang berakar dari aksara Pallawa dan Jawa, daerah yang sebelumnya menjadi tempat tinggalnya dan menimba ilmu," kata Nukman.