ak banyak dari kalangan sarjana sastra di Aceh yang menaruh minat untuk mengkaji karya sastra klasik ulama sufi terkenal Syeihk Hamzah Fansuri (1607). Dalam sejarahnya ia dikenal sebagai tokoh pelopor lahirnya kesusastraan Melayu Indonesia. Para sarjana sastra di Aceh lebih berkutat pada karya-karya sastra modern yang dihasilkan pujangga baru atau sesudahnya. Sehingga banyak karya-karya sastra periode klasik di Aceh, seperti karya-karya Hamzah Fansuri tenggelam dari pemahaman mereka.
Di tengah luputnya perhatian sarjana sastra di Aceh terhadap karya-karya Hamzah Fansuri, dua minggu lalu, saya dihadiahkan sebuah buku oleh Dr. Syarifuddin, M.Ag, Dosen Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry. Judul bukunya: “Wujudiyah Hamzah Fansuri Dalam Perdebatan Para Sarjana; Kajian Hermeneutik atas Karya-Karya Sastra Hamzah Fansuri”. Buku yang diterbitkan oleh penerbit Almahira Jakarta, Maret 2011, adalah tesis dari Dr. Syarifuddin dalam menyelesaikan program S-2 pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh pada tahun 2000. Buku setebal 200 halaman ini memang menarik untuk dibaca, terutama dalam memahami sejarah perdebatan tuduhan sesat terhadap penganut ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri di Aceh.
Dalam buku ini Dr. Syarifuddin, setidaknya telah menaruh perhatian besar terhadap karya syair-syair Hamzah Fansuri, yang kemudian menjadi polemik basar di Aceh. Karena sebagian ulama Aceh saat itu (akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17), terutama Syeihk Nuruddin Ar-Raniry menuduh Syeihk Hamzah Fansuri telah menyebarkan ajaran Islam yang sesat melalui syair-syairnya.
Sisi lain yang mebuat buku ini jadi menarik adalah di samping kita dapat memahami karya-karya sastra klasik Hamzah Fansuri, juga sedikitnya kita dapat mengetahui bagaimana Syeihk Nuruddin Ar-Raniry--seorang ulama besar Aceh asal Ranir India--mengklaim ajaran wujudiyah yang dikembangkan Hamzah Fansury di Aceh dulu sebagai ajaran sesat. Sehingga, tidak sedikit karya-karya Hamzah Fansuri atas fatwa Nuruddin Ar-Raniry ketika itu harus dibakar, dan pengikut Hamzah juga tidak sedikit yang dibunuh atas fatwa Nuruddin Ar-Raniry.
Hamzah dan Tuhan
Dalam buku ini, sang penulisnya memaparkan, akar dari tuduhan sesat yang dilancarkan Nuruddin Ar-Raniry terhadap Hamzah Fansuri, karena Hamzah dianggap sebagai ulama yang telah menyamakan “Tuhan dengan alam” melalui ajaran wujudiyah yang dikembangkan. Dalam pemahaman Ar-Raniry wujudiyah ini adalah zindiq (sesat) dan panteistis. Memang dalam konsep Hamzah Fansuri, Tuhan adalah satu-satunya pemilik wujud yang hakiki yang dipancarkan kepada alam. Ibarat cahaya mata hari yang menerangi alam secara terus menerus. Jadi, alam dalam konsep Hamzah adalah wujud wahmi (bayangan) yang dipancarkan oleh cahaya. Sedangkan Allah adalah wujud hakiki yang memberikan bayangan kepada alam yang fenomenal. Konsep ini dapat dipahami seperti dilukiskan Hamzah dalam syair yang sangat simbolik di bawah ini:
Cahaya atar-Nya tiadakan padam
Memberikan wujud pada sekalian alam
Menjadikan makhluk siang dan malam
Ila abad al-abad tiada karam
Syair di atas, menurut penulis buku ini, sebenarnya Hamzah ingin memperlihatkan perbedaan esensial antara Tuhan dan alam. Karena dalam konsep Hamzah Fansuri, alam adalah penampakan (tajalli) Tuhan, seperti ombak yang muncul dari laut yang dalam. Maka pada taraf ini Tuhan dalam pandangan Hamzah Fansuri adalah Musyabbah, serupa dengan makhluknya pada tingkat tertentu. Atau secara analogis, dalam aspek-Nya yang imanen, Tuhan tidak terpisah dari menifestasi-manifestasinya. Laksana laut yang tak dapat dipisahkan dari ombaknya. Kansep ini juga dilukiskan Hamzah Fansuri dalam syairnya:
Tuhan kita itu seperti bahr al-amiq
Ombaknya penuh pada sekalian tariq
Laut dan ombak keduanya rafiq
Akhir ke dalamnya jua ombaknya ghariq
Di sini dapat dipahami bahwa Hamzah menamsilkan zat Allah seperti bahr al-amiq (seperti laut yang dalam) yang tak terhingga. Tapi ini bukan berarti bahwa Hamzah telah mengindektikan Tuhan dengan alam seperti yang dituduh Nuruddin Ar-Raniry. Syair di atas harus dianalogikan bahwa Hamzah Fansuri ingin mengatakan Tuhan itu adalah mutlak keesaan-Nya, tidak terbatas oleh waktu dan tempat. Sebagaimana halnya ketidakterbatasan laut yang dalam dengan ombaknya. Ini mengandung makna bahwa Hamzah Fansuri mengakui bahwa Tuhan dalam esensi-Nya adalah Yang Tidak Tampak dan transenden (tanzih) secara total. Tidak dapat dilihat, diketahui, dan didekati secara absolut.
Ketidakmampuan Ar-Raniry
Maka yang menjadi masalah di sini, atas dasar apa Syeihk Nuruddin Ar-Raniry melancarkan kecaman sesat terhadap ajaran Wujudiyah Hamzah Fansuri. Kalau Nuruddin Ar-Raniry beralasan bahwa dalam ajaran Hamzah telah menyamakan Tuhan dengan alam, alasan ini malah semakin menampakkan ketidakmampuan Ar-Raniry dalam menangkap simbol-simbol yang terkandung di balik makna syair-syair Hamzah Fansuri.
Seperti dijelaskan dalam buku Dr. Syaifuddin ini, sekiranya Nuruddin Ar-Raniry mampu menangkap “dari dalam teks” yang tersembunyi di balik syair-syair Hamzah, tentu Ar-Raniry tidak akan mengklaim Hamzah Fansuri telah kufur dan sesat. Tetapi, karena Ar-Raniry tidak mampu menangkap simbol-simbol dan makna ungkapan Hamzah yang metaforik dalam syair-syairnya, maka tak heran kalau Ar-Raniry melancarkan kecaman sesat atau mulhid terhadap ajaran Wujudiyah.
Nuruddin Ar-Raniry dalam memahami pikiran Hamzah telah terjebak dalam makna lahir yang nampak di balik permukaan teks yang tersembunyi dalam syiar-syair Hamzah Fansuri. Misalnya, Hamzah mengungkapkan: “Tamsilnya seperti biji pohon, pohonnya di dalam biji itu lengkap serta dalam biji itu. Maka nyatalah bahwa seru semesta alam sekaliannya adalah lengkap berujud dalam Haqq Ta’ala. Maka ke luarlah alam daripada-Nya, seperti pohon kayu yang ke luar dari bijinya”. Ungkapan Hamzah ini diterjemahkan Nuruddin Ar-Raniry bahwa Hamzah Fansuri telah mengajarkan paham bahwa Tuhan itu identik dengan alam.
Padahal, yang ingin dikatakan Hamzah dalam ungkapan itu, Hamzah melihat Tuhan dari dua aspeknya, yaitu aspek al-batin (yang tidak nampak) dan al-zahir (yang nampak). Dua aspek ini ditamsilkan Hamzah Fansuri seperti pohon kayu yang masih tersembunyi di dalam sebutir biji. Pada taraf ini, Tuhan dalam pandangan Hamzah: Dia-lah Tuhan yang dalam esensi-Nya adalah yang tidak tampak dan transenden (tanzih) secara total.
Akan tetapi, Ar-Raniry telah menafsirkan lain dari apa yang diungkapkan Hamzah. Malah dengan ungkapan itu, Ar-Raniry mengatakan bahwa Hamzah telah menyamakan Tuhan dengan alam.
Hasil kajian Dr. Syarifuddin ini, tampaknya makin terkuak ketidakmampuan Syeihk Nuruddin Ar-Raniry dalam menjangkau pikiran-pikiran Hamzah Fansuri. Hal ini bisa jadi karena Ar-Raniry adalah sosok ulama fiqih yang model pemikiran keislamannya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Syeihk Ahmad Sirhindi (1624), seorang ulama dari daerah asal Nuruddin Ar-Raniry di Ranir India. Di mana pemikiran Ahmad Sirhindi ini cenderung menolak pola-pola pemikiran keinslaman yang sufistik. Hal ini pula yang kemudian diterapkan Nuruddin Ar-Raniry di Aceh, ketika ia menbat Qadhi Malikul Adil (Mufti Kejaraan Aceh) pada masa Pemerintahan Sultan Iskandar Shani (1636-1641 M).
Sedangkan Syeihk Hamzah Fansuri adalah sosok ulama tasauf (ahli sufi) yang pemikirannya lebih banyak dipengaruhi oleh sufi-sufi terbesar dari Persia. Sepanjang sejarah pemikiran Islam, antara ulama fiqih dengan ulama tasauf memang tidak pernah saling ketemu pemikirannya, keduanya selalu berkonflik, terutama dalam memahami persoalan Ketuhanan. Dan karena konflik itu pula sehingga dalam perjalanan sejarahnya banyak ulama-ulama sufi akhirnya harus mengakhiri hidupnya di tiang eksekusi alias dibunuh.
Kasus penjatuhan hukuman mati terhadap Al-Hallaj (w.922 M) adalah tragedi dunia sufi yang sangat memilukan. Demikian pula putusan penguasa kerajaan Demak di Jawa yang menghukum pancung Syeihk Siti Jenar karena dianggap sesat dengan mengembangkan ajaran Wahdatul Wujud (pemahaman sufi tingkat tinggi) juga tragedi yang dialami dunia sufi yang amat tragis. Seperti juga halnya yang dialami oleh murid-murid Syeihk Hamzah Fansuri di Aceh, mereka banyak yang dibunuh (dieksekusi) atas fatwa sesat yang dikeluarkan oleh Syeihk Nuruddin Ar-Raniry ketika ulama dari Ranir India ini diberi jabatan Qadhi Malikul Adil di Kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Shani. Haruskah Nuruddin Ar-Raniry bertanggung jawab atas fatwanya sebagai awal dari terjadinya kekacauan kehidupan beragama di Aceh? Wallahu’alam.
Nab Bahany As
* Penulis adalah budayawan, tinggal di Banda Aceh.