Beranda » Sangkuriang Bukan Anak Durhaka

Sangkuriang Bukan Anak Durhaka



Sangkuriang membunuh si Tumang(ayahnya)dan berhasrat untuk mengawini Dayang Sumbi(ibunya) dalam Legenda Tangkuban Parahu. Sepintas, kisah ini terkesan biasa. Padahal sebenarnya menyimpan banyak makna. Merekam gambaran pencarian jatidiri manusia pada umumnya.

Sebagai anak, Sangkuriang memiliki kenangan tersembunyi akan masa-masa indah bersama ibunya. Ketika branjak dewasa dan tercampak dalam realitas keras dan getirnya kehidupan menjelmakan ketidakutuhan pada dirinya. Kecenderungan untuk bersatu dengan sang ibu dan hasrat untuk meraih kembali masa-masa indah yang membahagiakan adalah hasrat yang alamiah.

Kasih sayang Sangkuriang pada sosok Dayang Sumbi jelas –jelas memposisikan si Tumang sebagai saingan. Oleh karena itu, demi mendapatkan kembali ibunya, sang ayah harus disingkirkan. Bisa jadi peristiwa pembunuhan ini adalah upaya untuk mengalihkan dan melenyapkan ketakutan akan kekuasaan ayah.

Membunuh ayah memiliki kebenaran bagi si Anak untuk melahirkan kerinduan yang begitu hebat untuk menghidupkannya kembali. Melahirkan prakarsa untuk mengambil peran ayah dengan menghidupkan sosok ayah dalam dirinya.

Membunuh ayahnya membuat Sangkuriang diusir ibunya dari rumah. Ia lantas pergi bertualang. Pengalaman bertualang adalah pengalaman mencari dan menemukan. Selama mengembara, ia mengasah kemampuannya. Kualitas dirinya di uji. Kedewasaannya dibentuk dan ditemukan. Ini bisa dilihat dari kesaktian dan kehebatannya.

Pergi dari rumah adalah babak baru dalam sejarah Sangkuriang sebagai individu. Pengalaman mengantarnya menjadi pemuda yang mengagumkan dan menggetarkan. Hingga pada akhirnya Dayang Sumbi pun terpikat pada kesaktian, kegagahan dan keperkasaan yang luar biasa itu. Kualitas sosok Sangkuriang sangat berbeda dari saat pertama dia pergi dari rumah. Ia menjadi pribadi yang memukau.

Setelah sekian lama mengembara, akhirnya ia bertemu dengan Dayang Sumbi. Pertemuan itu menjadi gambaran kembalinya Sangkuriang pada Zona Nyamannya. Dayang sumbi digambarkan masih sebagai sosok yang cantik jelita bak gadis muda yang perawan. Kejelitaanya membuat Sangkuriang bersikeras untuk mempersuntingnya.

Keinginannya untuk mempersunting Dayang Sumbi adalah hasrat untuk mencapai kesempurnaan, keutuhan dan kelengkapan hidup seorang Sangkuriang. Sedangkan penolakan Dayang Sumbi adalah sebuah tamparan. Suatu masa menunggu yang mengambang tak menentu. Hingga membuat Sangkuriang marah dan terpukul. Penolakan ibu jelas meruntuhkan semangat untuk menjelmakan kembali sosok ayah yang telah lama dibunuhnya.

Jadi, adalah sangat tidak adil apabila kita memposisikan sosok Sangkuriang sebagai anak durhaka. Kisah ini sangat dalam makna ruhaninya. Gairah Sangkuriang sebenarnya adalah gairah manusia yang ingin mengejar kesejatian hidupnya. Mencerminkan semangat juang yang sangat mengagumkan. Sangkuriang adalah manusia sejati. Pribadi ideal dalam pencarian makna hidup.


Andi Firmansyah

Dalam cerita Sangkuriang, masyarakat jaman dahulu hanya ingin menyampaikan bahwa “Surga Itu Ada Dibawah Telapak Kaki Ibu”.
Maksudnya: Kekuasaan seorang Ibu sangat besar atas anak kandungnya, terlepas apakah Ibu tersebut telah melaksanakan kewajibannya untuk merawat, menyayangi dan mencintai anak kandungnya dengan tulus dan ikhlas seperti apa adanya.

Di jaman modern ini, umumnya anak – anak gak percaya atas kewenangan seorang ibu yang begitu besar dalam menentukan masa depan anak kandungnya, baik di dunia maupun di akherat.
Anak pasti akan mencintai ibunya bila Ibunya juga mencintai dia dengan tulus dan ikhlas, bagaimanapun kondisinya (pandai, bodoh, cantik/ ganteng, buruk, normal, cacad, dsb).
Bila seorang Ibu tidak melaksanakan kewajibannya dengan tulus dan ikhlas terhadap anak kandungnya sendiri, jangan harap anak kandungnya akan mencintai ibunya dengan tulus dan ikhlas pula ketika dia sudah menginjak dewasa.
Bantuan materi mungkin akan tetap diberikan oleh anak kandungnya, terutama ketika Ibu kandungnya sudah tua dan perlu perawatan dari anak kandungnya.
Tetapi soal cinta ???
Jangan banyak berharap anak kandungnya akan mencintai Ibu kandungnya dengan tulus dan ikhlas.
Sebetulnya itu bentuk pembalasan anak kandung terhadap ibu kandungnya (dan mungkin juga Bapak kandungnya).
Di acara TV soal Pendidikan Agama, banyak pertanyaan yang diajukan kepada para Ustad atau Ustazah:
“Bagaimana sebaiknya sikap kita terhadap Ibu Kandung yang tinggal dirumah kita tetapi merasa sangat berkuasa atas anak kandungnya ???”
Umumnya jawabannya standard:
“Anda tetap harus berbakti kepada Ibu yang telah melahirkan anda, betapapun cerewetnya Ibu kandung anda”.
Bagi Ustad maupun Ustazah, sikap “cerewet” seorang Ibu kandung yang menyatakan : “Aku Kutuk kamu karena kamu lebih memperhatikan Suami/ Istri kamu, katimbang Ibu Kandung Kamu sendiri”, dianggap sesuatu hal yang biasa dan harus diterima dengan segala kerendahan hati, karena hasil akhir toh tetap ada ditangan Allah SWT sebagai Yang Maha Kuasa.
Mengapa ???
Karena Ustad dan Ustazah juga gak percaya bahwa Surga itu ada dibawah telapak kaki Ibu.
Surga itu sepenuhnya ada dibawah kekuasaan Allah SWT sebagai Yang Maha Kuasa, Maha Adil, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.