Berikut adalah ulasan saya mengenai Sandhyakala Majapahit , Sirna Ilang Kertaning Bumi menyambung tulisan terdahulu tentang bencana geologi yang disebut-sebut dalam Kitab Pararaton.
Sepeninggal Mahapatih Gajah Mada (1364 Masehi/M) dan Raja Hayam Wuruk (1389 M), kerajaan pemersatu Nusantara, Kerajaan Majapahit, pecah menjadi Kedaton Wetan dan Kedaton Kulon akibat sengketa keluarga yang saling berebut kekuasaan. Pertengkaran keluarga terjadi. Kelompok-kelompok pendukung dibentuk untuk saling menggalang kekuatan, bersengketa untuk merebut posisi2 kunci kekuasaan. Bau permusuhan dan saling curiga-mencurigai menebar di mana-mana di seluruh wilayah Majapahit, negeri tak terurus.
Akhirnya, bisul ketegangan itu pecah, perang antar keturunan Hayam Wuruk tak terhindarkan. Perseteruan antara Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk) dan Wirabbhumi (putra Hayam wuruk dari seorang selir) menyulut sebuah perang besar yang sangat merusak sendi-sendi Majapahit : Perang Paregreg (1401-1406 M).
Apa hasil perang ? Majapahit kian melemah. Para pejabat kerajaan tak peduli lagi nasib negerinya. Alih-alih, mereka berlomba-lomba ber-aji mumpung. Korupsi merajalela, krisis multidimensi terjadi. Bertahun-tahun kondisi semacam itu terjadi dan dibiarkan terjadi. Lalu, beberapa decade menjelang tahun 1500 M, Majapahit, kerajaan pemersatu Nusantara, runtuh setelah berada di bumi Jawa Timur hampir 200 tahun. Babad Tanah Jawi mencatat tahun keruntuhan Majapahit itu dalam suryasengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi” yaitu 1400 caka atau 1478 M.
Penelitian2 kesejarahan dan geologi yang pernah dilakukan di wilayah Majapahit, delta Brantas, menyimpulkan bahwa kemunduran Majapahit selain disebabkan perseteruan keluarga juga dapat dihubungkan dengan mundurnya fungsi delta Brantas yang didahului oleh rentetan bencana geomorfologis yang salah satunya pernah tercatat dalam Babad Pararaton : bencana 1296 Caka (1374 M) “pagunung anyar” yang pernah saya tafsirkan sebagai erupsi gunung lumpur (argumennya pernah saya tulis di milis ini beberapa bulan yang lalu, silakan dicek). Bencana ini terjadi pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Hayam Wuruk. Diduga bahwa bencana serupa terjadi beberapa kali pada periode setelah Hayam Wuruk tiada. Penelitian Nash, ahli geohidrologi Belanda, dipublikasi pada tahun 1932 (James Nash -1932 , “Enige voorlopige opmerkingen omtrent de hydrogeologie der Brantas vlakte – Handelingen van 6de Ned. Indische Natuur Wetenschappelijke Congres”) bisa menjadi acuan tentang bagaimana dinamiknya bumi di bawah Majapahit itu. Rentetan bencana terjadi, sementara negeri tak terurus karena pejabatnya sibuk berkorupsi, apalagi kalau tak runtuh.
Yang ingin saya ulas kali ini adalah soal sandhyakala “Sirna Ilang Kertaning Bumi” yang dalam penafsiran saya bisa menunjukkan dan menguatkan cerita bencana seperti yang tercatat pada Babad Pararaton di atas.
Menurut ahlinya (Suwito, 2006), sengkala berasal dari kata “saka kala” (tahun saka) yang diberi imbuhan – an kemudian menjadi sengkalan. Sengkalan didefinisikan sebagai angka tahun yang dilambangkan dengan kalimat, gambar, atau ornamen tertentu. Bangsa barat menyebutnya sebagai kronogram. Mengapa untuk menyebut angka tahun digunakan kalimat ? Sebab, para leluhur kita memaksudkannya agar para generasi penerus mudah mengingat peristiwa yang telah terjadi pada tahun yang dimaksud. Jadi, sengkalan punya dua maksud : angka tahun, dan peristiwa apa yang terjadi tahun itu. Saya pikir ini suatu cara yang sangat cerdas warisan leluhur. Karena tahun Caka/Syaka/Saka menggunakan garis edar Matahari sebagai refererensi, maka suka disebut surya sengkala. Kalau tahun Jawa atau tahun Hijriyah, maka suka disebut candrasengkala karena menggunakan garis edar Bulan sebagai referensi (candra = Bulan).
Para leluhur sudah menyusun aturan2 sedemikian rupa untuk menjadi pedoman bagaimana membuat suryasengkala. Karena sengkalan menggunakan kalimat sebagai angka, maka kata- kata tertentu punya “watak bilangan” atau “watak kata-kata” masing2. Berikut adalah aturannya (diterjemahkan dari bahasa Kawi atau Jawa).
Angka 1 : benda yang jumlahnya hanya satu, benda yang berbentuk bulat, manusia.
Angka 2 : benda yang jumlahnya ada dua, misalnya tangan, mata, telinga.
Angka 3 : api atau benda berapi.
Angka 4 : air dan kata-kata yang artinya “membuat”.
Angka 5 : angin,raksasa, panah.
Angka 6 : rasa, serangga, kata-kata yang artinya “bergerak”.
Angka 7 : pendeta, gunung, kuda).
Angka 8 : gajah, binatang melata, brahmana.
Angka 9 : dewa, benda yang berlubang.
Angka 0 : hilang, tinggi, langit, kata-kata yang artinya “tidak ada”.
Demikian pedoman singkat dari Suwito (2006). Aturan lainnya adalah bahwa sengkalan punya sandi, yaitu kata terakhir di kalimat sengkalan menjadi angka urutan pertama, sedangkan kata pertama di kalimat sengkalan menjadi angka urutan terakhir pada tahun sengkalan.
Mari kita analisis “Sirna Ilang Kertaning Bumi“. Bila dilihat watak kata-kata dan watak bilangannya, maka “sirna” = hilang = angka 0, “ilang = hilang” angka 0, “kertaning/kerta ning” = dibuat = pekerjaan membuat = angka 4, “bumi/bhumi” = bumi = angka 1. Analisis sengkalan ini harus didampingi buku2 kamus Jawa Kuno (Kawi) susunan Poerwadarminta, Wojowasito, atau Purwadi. Suryasengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi” = 0041, ingat aturan sandi sengkalan, maka tahun yang dimaksud dengan “Sirna Ilang Kertaning Bumi” adalah 1400 Caka atau 1478 M. Sengkalan “Sirna Ilang Kertaning Bumi” dimaksudkan pengarang Babad tanah Jawi untuk menggambarkan runtuhnya/hilangnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1400 Caka atau 1478 M.
Ada yang menarik di sini : “Kertaning Bumi” Kerta/Karta = dibuat/dijadikan. Misalnya : Jayakarta = dibuat jaya/berhasil, Yogyakarta = dibuat baik (seyogyanya = sebaiknya). Maka, “kertaning Bumi” terbuka untuk ditafsirkan “dibuat (oleh) Bumi” atau “dibuat (di) Bumi”. Kata “ning” dalam bahasa Kawi bisa banyak punya arti sebagai kata depan atau kata pembuat kata kerja.
Apakah “Sirna Ilang Kertaning Bumi” bisa ditafsirkan “Hilang Musnah Dibuat Bumi” ? “Dibuat Bumi”, kita bisa menduganya : bencana dari Bumi. Kaitkan ke Babad Pararaton, bencana itu adalah Pagunung Anyar alias erupsi gununglumpur. Wallahualam Bisawab ! Hanya Tuhan yang Tahu, tetapi kronik sejarah macam Babad Tanah Jawi, Babad Pararaton, Kunci sandi Sengkalan, dan geologi Delta Brantas kini dan dulu cukup kuat menunjuk bahwa bencana alam adalah faktor penting yang harus ditelusuri dalam Sandhyakala ning Majapahit – Senja Kala di Majapahit.
Ditulis oleh : Awang H.S