TURKI tidaklah asing di telinga masyarakat Indonesia, khususnya Aceh pada saat ini. Bukan hanya karena hubungan antara Indonesia dan Turki sekarang yang semakin dipererat dengan kunjungan Presiden SBY ke Turki pada akhir Juni lalu, tapi juga karena ikatan sejarah masa lalu yang telah mendarah daging khususnya bagi masyarakat Aceh. Gerakan-gerakan pemuda Turki masa lalu juga telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hubungan Aceh dan Turki Usmani pada masa lalu sangatlah erat, hingga bisa dikatakan seperti hubungan adik dan kakak. Beberapa sumber baik yang berasal dari hikayat-hikayat Aceh seperti Hikayat Aceh, Hikajat Soeltan Atjeh Marhoem dan juga tulisan Nuruddin Ar-Raniry yakni Bustanu’s-salatin menunjukkan bahwa Kerajaan Turki Usmani dahulu telah membantu Kerajaan Aceh dalam memerangi bangsa Portugis.
Dalam Hikajat Soeltan Atjeh Marhoem dikisahkan tentang kemurahan hati Sultan Kerajaan Turki Usmani yang mengirimkan ahli-ahlinya untuk mengajarkan seni berperang, membangun Kerajaan Aceh, juga menghadiahkan beberapa meriam sebagai alat bantu perang yang terkenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Dinamakan Meriam Lada Sicupak karena jauh dan rumitnya perjalanan dari daratan Aceh ke Kerajaan Turki, yang mengakibatkan utusan Kerajaan Aceh tersesat sampai memakan waktu tiga tahun untuk sampai di daratan Turki. Mereka terpaksa menjual padi, beras, dan lada-hadiah untuk Raja Turki yang masing-masing barang tersebut dimuat dalam tiga kapal layar-demi bertahan hidup. Hanya tinggal Lada sebanyak setengah bambu (Lada Sicupak) yang bisa dipersembahkan kepada Raja Turki Usmani. Selain itu, pada De Hikajat Atjeh dikisahkan juga tentang kunjungan utusan Kerajaan Turki ke Aceh untuk mencari obat bagi Raja Turki yang sedang mengidap suatu penyakit. Setelah mendapatkan obat yang dicari, maka pulanglah utusan tersebut dari Aceh dan dilaporkanlah kepada Sultan Turki Usmani tentang kemegahan Kerajaan Aceh. Sultan pun mengatakan pada wazirnya, “Pada masa lampau di Bumi atas kehendak Allah terdapat dua Raja besar yaitu Nabi Sulaiman dan Raja Iskandar Zulkarnain, maka pada zaman sekarang atas kehendak Allah terdapat dua raja yang amat besar, kita di Barat dan Sri Sultan Perkasa `Alam Raja di Timur.”
Sayangnya, di dalam hikayat-hikayat tersebut tidak didapatkan informasi secara jelas tentang raja yang berkuasa di Turki dan di Aceh saat itu. Namun, berdasarkan sumber yang lebih terpercaya sebagaimana ditulis oleh Muhammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad, pengiriman bantuan dari Turki ke Aceh terjadi ketika Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah Al-Kahhar berkuasa di Aceh. Apabila kita membaca sumber yang ditulis sejarawan asing, baik dari Turki ataupun negara lain, disebutkan bahwa hubungan Kerajaan Aceh dan Turki telah terjalin sepanjang abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Diperkirakan, Kerajaan Aceh telah menjalin hubungan dengan Turki semenjak Turki Usmani berada di bawah kekuasaan Sultan Selim I, kemudian berganti Sultan Sulaiman I, sampai masa Sultan Selim II, bahkan berlanjut lagi pada abad ke-19 ketika kekuasaan di tangan Sultan Abdulmejid II. Sumber Turki, Ismail Hakki Goksoy, menyebutkan, Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah Al-Kahhar mengirim surat kepada Sultan Sulaiman melalui duta besar Hussein bertanggal 7 Januari 1566 dengan tujuan meminta bantuan militer untuk memerangi pasukan Portugis. Namun, bantuan berupa ahli perang, kapal, meriam, tentara bersenjata lengkap tidak dapat segera dikirimkan dikarenakan beberapa peristiwa yang terjadi di Istanbul pada saat itu, termasuk juga peristiwa pengangkatan Sultan Selim II menggantikan Sultan Sulaiman yang mangkat.
Selama keberadaannya di Aceh, utusan yang dikirim dari Kerajaan Turki telah banyak memberikan kontribusi dan pengaruh besar terhadap Kerajaan Aceh. Di samping hubungan dagang antara dua kerajaan tersebut, Turki Usmani juga mendirikan akademi militer di Kerajaan Aceh yang telah mencetak pemimpin perang tangguh. Salah satunya Laksamana Keumalahayati. Keumalahayati adalah seorang perempuan Aceh yang pernah memimpin berpuluh kapal perang, yang di setiap kapal tersebut terdapat ratusan tentara. Di samping itu, Goksoy juga menyebutkan dalam tulisannya tentang bendera Kerajaan Aceh yang berlatar merah bersimbolkan bulan sabit dan bintang putih dengan pedang di bawahnya. Ini semua pengaruh dari Kerajaan Turki Usmani. Hubungan antara dua kerajaan berlanjut lagi pada pertengahan abad ke-19 ketika Belanda menjajah Aceh. Sultan Aceh meminta bantuan kembali kepada Turki Usmani agar mengirimkan pasukan dan juga meminta kerajaan Aceh agar ditegaskan sebagai bagian dari Turki Usmani. Tujuannya agar Belanda tidak dapat menguasai tanah Aceh. Namun, pada abad ini Turki Usmani telah mengalami kemunduran pesat karena kekuatan Eropa yang semakin kuat dan semakin berkuasa di tanah Turki. Tidak banyak hal yang bisa mereka lakukan, walaupun Turki Usmani mengirimkan sejumlah utusannya ke Aceh.
Setelah sekian lama tidak berhubungan dengan Aceh, Turki kembali mengirimkan bantuan kemanusiaannya setelah bencana gempa dan tsunami terjadi pada akhir tahun 2004. Tidak hanya berhenti pada saat itu, Turki terus melanjutkan bantuannya dengan mendirikan Sekolah Fatih dan juga memberikan bantuan berupa beasiswa bagi pemuda-pemudi Aceh yang ingin melanjutkan pendidikan S1, S2 dan S3 ke Turki. Setiap tahunnya sejak tahun 2007, jumlah masyarakat Aceh yang menempuh studi di Turki semakin bertambah, khususnya pada tingkat strata-1 dengan bidang ilmu yang bervariasi seperti teknik, kedokteran, politik, komputer, hingga sejarah. Semoga saja persahabatan dua negara muslim ini akan mengulangi kejayaan Islam seperti abad keemasan Islam pada masa lalu.
Baiquni