Selama ini banyak pihak yang menyakini bahwa kata Meulaboh berasal dari Bahasa Minang, yaitu “Disiko kito Balaboh” . Cerita ini, bersumber dari bukunya HM. Zainuddin yang berjudu Tarik Atjeh dan Nusantara. Zainuddin kemungkinan menangkap dari cerita-cerita rakyat yang ada, sebab saya menelaah cerita-cerita dalam bukunya sangat berkaitan dengan cerita-cerita yang setengah dogeng tentang sebuah negeri, persis seperti orang-orang mengatakan bahwa Lamno berasal dari peristiwa ketika Orang Eropa ingin merapatkan kapalnya di suatu tempat di sekitar Kerajaan Daya, kemudian salah satu orang Aceh bilang pada mereka “Bek puduek kapai disinan enteuk lam!/Jangan rapatkan kapal di situ nanti tenggelam” kemudian dijawab oleh orang Eropa “No”, kemudian jadilah nama Lamno.
Menelusuri penamaan Kota Meulaboh ini sangat penting mengingat akan berpengaruh dengan sejarah Aceh Barat pada umumnya, dan sejarah Teuku Umar sendiri. Menurut HM. Zainuddin, Meulaboh dulu dikenal sebagai Negeri Pasir Karam. Nama tersebut kemungkinan ada kaitannya dengan sejarah terjadinya tsunami di Kota Meulaboh pada masa lalu, yang pada tanggal 26 Desember 2004 terjadi kembali.
HM.Zainuddin mengatakan bahwa nama Kota Meulaboh berasal dari pemberian nama oleh orang-orang Minang. Menurutnya, ketika orang Minang itu sampai di Teluk Pasir Karam, pendatang dari Minangkabau itu sepakat untuk berlabuh “Disikolah kito berlaboh,” kata mereka. Semenjak itulah Negeri Pasir Karam dikenal dengan nama Meulaboh, dari asal kata berlaboh.
Saya meragukan pernyataan tersebut, sebab Meulaboh memang sudah ada sejak abad ke XV, sementara itu para Datuk yang datang ke Meulaboh baru pada abad ke XVIII. Ada jarak waktu yang sangat jauh di sini. Pertanyaan lainnya adalah kata Meulaboh dalam Kamus Bahasa Aceh. Saya mencoba mencari penggunaan kata Meulaboh atau asal kata Laboh dan saya menemukan kata tersebut dalam sebuah Kamus Atjeh. Kesimpulan saya: Meulaboh itu berasal dari Bahasa Aceh yang umum dipakai oleh orang Aceh yang berbahasa Aceh.
Kata Meulaboh berasal dari kata Laboh yang umum digunakan di Aceh. Menurut Kamus Aceh-Indonesia yang diterbitkan Pusat Pembinaan Departemen Pendidikan, Lembaga Pengembangan Bahasa dan Kebudayaan Tahun 1985 yang disusun oleh Aboe Bakar dan Kawan-kawan, kata Laboh dalam bahasa Aceh artinya (verb) membuang, melemparkan, menjatuhkan, jatuh, turun, bergantung rendah; pat ji Laboh pukat? Di manakah mereka berpukat? Pakon laboh that tangui ija? Mengapa Anda memakai kain rendah sekali. Bak jiplueng-plueng ka laboh di aneuk nyan, Ketika berlari-lari, jatuhlah anak itu.
Penamaan Kota Meulaboh oleh Orang Minang itu perlu dipertanyakan lagi. Alasannya, kata Meulaboh di Aceh Barat banyak, ada Babah Meulaboh, Tanjong Meulaboh, Meulaboh dua (ini malah di Nagan), Krueng Meulaboh. Kata itu sama banyak dengan penggunaan kata Padang dalam Desa-desa di Aceh, ada Desa Kuta Padang, Padang Panyang, Padang Sikabu. Ini bukan berarti nama itu diberi oleh orang Padang atau Minang. Hampir sama dengan pendapat sebagian orang Minang bahwa Colorado, salah satu kota di Amerika Serikat, diberi nama oleh orang Padang; Color ado (Apa ada celana Color).
Meulaboh, Padang, itu ada dari Bahasa Aceh. Meulaboh berasal dari Kata Laboh, Padang berati luas. Kota Meulaboh sudah ada sejak 402 tahun lalu di masa Sultan Syaidil Mukamil, Perang Padri baru terjadi pada abad 18.
Saya berkeyakinan bahwa pernyataan Meulaboh diberikan oleh orang Minang ada kaitannya dengan imigrasi orang dari “Minang” ke Aceh bagian Barat dan Selatan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh aneuk jamee tersebut memang ada, namun sebenarnya sebagian besar mereka adalah orang-orang Aceh yang sudah terdesak di Minang dan pulang kembali ke Aceh.
Sebab, jika suku Minang asli tentunya nama-nama mereka sekarang ini harus menggunakan nama suku mereka di Minang sana seperti Chaniago, Jambek dan lain sebagainya. Namun tidak kita temui penggunaan nama seperti itu, misalnya di Tapak Tuan. Di Rantau Panyang dan Meureubo jelas mereka tidak menggunakan nama tersebut.
Penamaan Kota Meulaboh tersebut memang ada kaitannya dengan testur penisula di Meulaboh yang membuat kota tersebut memiliki dua sisi yang dapat dilaboh pukat ataupun meulabohkan kapal.
Umar berdarah Minang?
Pernyataan HM.Zainuddin bahwa kedatangan para Datuk dari Minang itu benar adanya, tetapi sebenarnya mereka itu orang Aceh di masa Sultan Iskandar Muda saat Aceh menguasai Sumatera Barat. Dan para petinggi Aceh di ranah Minang itu menjadi pemangku adat dan pemerintahan. Peran mereka ini tereduksi karena adanya reformasi yang dilakukan kaum ulama asli Minang yang terpengaruh dengan paham Wahabi dari Arab Saudi.
Kaum Paderi membawa ajaran pembaruan Islam beraliran Wahabi dari Arab. Tiga orang ulama pulang mengikuti pendidikan di Arab. Mereka adalah Haji Piobang, Haji Miskin, dan Haji Sumanik. Ajaran pembaruan Islam yang dibawa tiga orang haji ini membuat gundah masyarakat Minangkabau yang waktu itu sudah menganut ajaran Islam, yang disebut beraliran Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena terdesak oleh kaum ulama, sebagian datuk itu ingin pulang kampung.
Para Datuk dan rombongannya itu, hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Di antara mereka malah ada yang menjadi pemimpin di antaranya: Datuk Machadum Sakti dari Rawa (cikal bakal yang melahirkan Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien), Datuk Raja Agam dari Luhak Agam. Datuk Raja Alam Song Song Buluh dari Sumpu.
Mereka menebas hutan mendirikan pemukiman yang menjadi tiga daerah, Datuk Machdum Sakti membuka negeri di Merbau, kemudian pindah ke arah Woyla, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh di Ujong Kala yang menikah dengan anak salah seorang yang berpengaruh di sana.
Menurut H.M Zainuddin, ketiga datuk utama tersebut juga memerintahkan warganya untuk membuka ladang, sehingga kehidupan mereka jadi makmur. Ketiga Datuk itu pun kemudian bersepakat untuk menghadap raja Aceh, Sultan Mahmud Syah yang dikenal dengan sebutan Sultan Buyung (1830-1839) untuk memperkenalkan diri.
Ketika menghadap Sultan, lanjut Zainuddin, masing-masing Datuk membawakan satu botol mas urai sebagai buah tangan. Mereka meminta kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas negeri mereka. Permintaan itu dikabulkan Raja Alam Song Song Buluh, kemudian diangkat menjadi Uleebalang Meulaboh dengan ketentuan wajib mengantar upeti tiap tahun kepada bendahara kerajaan.
Para Datuk itu pun setiap tahun mengantar upeti untuk Sultan Aceh, tapi lama kelamaan mereka merasa keberatan untuk menyetor langsung ke kerajaan, karena itu mereka meminta kepada Sultan Aceh yang baru Sultan Ali Iskandar Syah (1829-1841) untuk menempatkan satu wakil sultan di Meulaboh sebagai penerima upeti. Permintaan ketiga datuk itu dikabulkan oleh Sultan. Dikirimlah ke sana Teuku Tjiek Lila Perkasa, Wazir Sultan Aceh untuk pemerintahan, dan menerima upeti-dari Uleebalang Meulaboh.
Para datuk itu merasa sangat senang dengan kedatangan utusan Sultan yang ditempatkan sebagai wakilnya di Meulaboh itu. Mereka pun kemudian kembali meminta pada Sultan Aceh untuk mengirim satu wakil sultan yang khusus mengurus masalah perkara adat dan pelanggaran dalam negeri. Permintaan itu juga dikabulkan. Sultan Aceh mengirim ke sana Penghulu Sidik Lila Digahara (di Meulaboh lebih dikenal dengan Teuku Dek) yang menyidik segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang negeri.
Permintaan itu terus berlanjut. Kepada Sultan Aceh para Datuk itu meminta agar dikirimkan seorang ulama untuk mengatur persoalan nikah, pasahah, dan hukum syariat. Maka dikirimlah ke sana oleh Sultan Aceh Teuku Tjut Din, seorang ulama yang bergelar Almuktasimu-binlah untuk menjadi kadhi Sultan Aceh di Meulaboh.
Kemudian Meulaboh masuk dalam Federasi Kaway XVI karena federasi itu dibentuk oleh enam belas Uleebalang, yaitu Uleebalang Tanjong, Ujong Kala, Seunagan, Teuripa, Woyla, Peureumbeu, Gunoeng Meuh, Kuala Meureuboe, Ranto Panyang, Reudeub, Lango Tangkadeuen, Keuntjo, Gume/Mugo, Tadu, serta Seuneu’am, yang diketuai oleh Ule Balang Ujong Kalak.
Dengan demikian, Machudum Sakti yang merupakan cikal bakal dari Kehulubalangan di VI Mukim (tempat kelahiran Cut Nyak Dhien) memang berasal dari Minang, tetapi mereka bukanlah berdarah Minang, melainkan orang Aceh yang menjadi pemuka di tanah Minang sejak Kesultanan Iskandar Muda pada Abad ke XV yang pulang kembali ke Aceh karena terdesak oleh kegiatan reformasi yang diadakan para Kaum Paderi sehingga peran mereka terdesak.