Paling tidak sejak lima ratus tahun lalu, menjadi pemimpin bukan hal baru bagi perempuan Aceh. Pada saat Belanda hendak memasuki Samalanga, seorang pemimpin wanita pewaris kerajaan Samalanga bernama Pocut Meuligo yang masih remaja belia telah berhasil mempertahankan wilayahnya. Ia bertindak tegas kepada setiap pria yang mangkir dan kewajiban perang.
Pocut Meuligo termasuk dalam deretan wanita pejuang seperti Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutiah, dan Tengku Fakinah. Wanita yang juga dipanggil dengan Pocut Maligai ini dengan gagah berani telah mempertahankan Samalanga dan serangan Belanda selama beberapa tahun bahkan seorang jenderal Belanda harus kehilangan satu matanya ketika berusaha merebut Samalanga. Adalah Jenderal van der Heijden yang menjadi korban kegagahan pasukan Pocut Meuligo. Mata kirinya tertembak pejuang Samalanga yang dipimpin seorang remaja Puteri Pocut Meuligo.
Keberanian Pocut Meuligo ditulis oleh seorang kapten Belanda yang bernama Schumacher bahwa Pocut Meuligo sangat benci Belanda sampai-sampai ia memerintahkan semua rakyatnya berperang sekalipun meninggalkan sawah dan ladang. Bila mangkir mereka dihukum berat. Pengaruh perempuan muda ini tidak hanya di Samalanga, ia sering mengirim bantuan dana, keperluan logistik dan senjata ke Aceh Besar membantu pasukan Aceh. Samalanga bisa memberikan kontribusi finansial yang besar bagi perjuangan Aceh karena perdagangan ekspor Samalanga berkembang baik.
Schumacher melanjutkan bahwa pada tahun 1876 Belanda berusaha keras agar Samalanga mengakui pemerintahan Belanda, tetapi dijawab Samalanga dengan menembaki kapal-kapal Belanda bahkan bila perlu merompaknya.
Pada tahun yang sama, Gubernur Belanda Kolonel Karel van der Heijden merancang serangan ke Samalanga dengan menyiapkan tiga batalion dan semua kapal perang Belanda seperti Matelan Kuis, Amboina, Citade van Antwerpen, banda, Borneo, Sambas, Palembang, Watergeus, Semarang dan Sumatera. Pasukan darat dipimpin van der Hegge-Spies.
Ketika pasukan Belanda mendarat, pasuka Aceh telah siap menanti kedatangan mereka di Kiran dan Kuala Tambora. Di sebuah hutan yang telah dipasangi ranjau, satu batalion pasukan Belanda dibantai dengan mudah hanya oleh 40 pejuang Aceh.
Tak lama kemudian bala bantuan Belanda datang, dan pasukan Aceh mundur sambil mengumpulkan tenaga ke Pengit Tunong. Di kawasan ini, perang sengit kemudian terjadi, pasukan Belanda amat tertekan dan banyak yang lari lintang-pukang sambil membuang senjata begitu saja. Kejadian ini tidak lepas dan peran seorang ulama setempat yang bernama Haji Ahmad. Diceritakan bahwa salah seorang pemimpin pejuang Aceh, Haji Ahmad, yang berbadan tinggi besar dan tegap melompat dan menyerang Letenan Ajudan Richello dan memancung kepalanya.
Haji Ahmad ditahan Belanda sementara Pocut Meuligo berusaha membebaskannya dengan cara berunding dengan Belanda namun ulama Aceh itu tidak bisa diselamatkan dan menjadi salah satu syahid dalam serangan pertama Belanda ke Samalanga itu.
Berhasil mempertahankan Samalanga dan serangan Belanda pertama, pasukan Pocut Meuligo kembali memperkuat Benteng Batee Ilie yang terletak di sebuah bukit tak jauh dan Samalanga.
Dalam serangan berikutnya, Kolonel van der Heijden menyusun serangan untuk menaklukkan benteng Samalanga yang telah dipasang ranjau, dan kawat dan berbagai perangkap lainnya. Tiga batalion pasukan darat dan marinir telah disiapkan dibawah kendali Kapten Kauffman. Pasukan ini dibekali dengan pelontar meriam dan 900 buah meriam. Penyerangan Belanda ke Samalanga kali ini harus dibayar mahal karena Kolonel van der Heijden tertembak mata sebelah kirinya sehingga diberi gelar Jenderal Mata Satu oleh orang Aceh.
Selain itu, beberapa pimpinan pasukan Belanda seperti mayor Dompselar dan Letnan Kolonel Meijar dan ratusan prajurit Belanda terluka parah. Bagi Belanda, penyerangan mereka ke wilayah yang dipimpin Pocut Meuligo ini merupakan penyerangan yang menyeramkan dalam ingatan prajurit Belanda.
Belanda beberapa kali menyerang Samalanga mulai 1 Agustus 1877 dan berakhir pada tanggal 17 September di meja perundingan ketika kakak Pocut Meuligo yang bernama Teuku Cik Bugis tiba dan misinya ke luar negeri membeli senjata. Hasil dan perundingan yang diselenggarakan di markas Belanda itu adalah Belanda diperbolehkan menaikkan Benderanya di Samalanga tetapi tidak berkuasa atas wilayah itu sementara kegiatan perdagangan ekspor-impor Samalanga tetap berjalan tanpa ada gangguan dari pihak manapun termasuk Belanda dan Benteng Batee llie tidak boleh diganggu gugat, tetap bendaulat dan bebas mengibarkan bendera di puncak bukit tersebut. Kemenangan tetap di pihak Samalanga.
Belanda belum puas dengan hasil perjanjian tersebut dan berusaha merebut Samalanga. Pada tanggal 30 Juni 1880, sebanyak 65 prajurit yang dipimpin Letnan van Woontman secara diam-diam memasuki kampung dan sesampainya di Cot Merak, mereka dikepung penduduk setempat dan pertempunan sengit pun terjadi. Prajurit Belanda itu tendesak dan lari menyelamatkan diri kembali ke markas.
Pihak Belanda tersinggung dengan peristiwa di Cok Merak. Akhirnya, van Heijden melanggar penjanjian yang telah disepakati bersama. Ia mengirim satu ekspedisi yang terdiri dari 32 pegawai dan 1200 prajurit dengan alat tempur lengkap di bawah pimpinan Mayor Schilau dan Mayor van Steenvelt. Turut bersama pasukan Belanda itu adalah Panglima Tibang, bekas orang kepercayaan Sultan, dan Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan penunjuk jalan.
Pada tanggai 14 Juli kapal yang membawa pasukan Belanda merapat di Kuala Samalanga. Belanda mengundang Teuku Cik Bugis, Pocut Meuligo, Teuku Bentara Cut (keponakan Pocut Meuligo) dan beberapa tokoh Samalanga, namun mereka tidak sudih datang karena telah bersiap-siap menghadapi kedatangan Belanda di Benteng Batee llie.
Sehari kemudian tepatnya tanggal 15 Juli Belanda menyerang Batee llie. Pertempuran sengit terjadi. Pasukan Belanda tidak berhasil menembus pertahanan Benteng Batee llie meskipun menyerang dan berbagai jurusan sebaliknya mereka dihujani tembakan pejuang Samalanga dengan peluru dan batu-batuan dan prajurit Belanda pun banyak yang mati.
Tidak hanya itu, pasukan induk Belanda pun diserang dengan kelewang dari belakang bukit. Schumacher mencatat Belanda terus maju dan menyerang tetapi setiap kali maju mereka terpaksa mundur meskipun bersenjata lengkap.
Perang berlangsung beberapa hari. Dalam suatu serangan, Teuku Cik Bugis juga turun tangan yang menyebabkan pasukan Belanda lari lintang-pukang. Karena peristiwa ini Belanda kemudian menangkap Teuku Cik Bugis namun tetap menyerang Samalanga. Karena setiap serangan selalu dapat dipatahkan pejuang Samalanga, Belanda akhirnya menghentikan penyerangan ke Samalanga
Pocut Meuligo kemudian menemui van der Heijden yang membawa Teuku Cik Bugis dan Banda Aceh. Mereka kemudian dibebaskan tanpa syarat apapun.
Lagi dengan 900 prajurit bersenjata lengkap untuk kali ketiga van der Heijden memimpin serangan ke Samalanga. Namun usahanya gagal total. Penasaran dengan usahanya yang selalu gagal, akhirnya pada tahun 1904 van der Heijden mengerahkan pasukan meriam. Usahanya kali ini mengakhiri perlawanan pejuang Samalanga selama lebih dan tiga puluh tahun melawan Belanda.
Lamanya Samalanga bertahan dan serangan Belanda tidak terlepas dan peran kepemimpinan Pocut Meuligo yang pantang menyerah dan selalu memompa semangat juang rakyatnya dengan tetap bersandar kepada kekuatan Allah SWT sebagai hamba yang beriman kepada-Nya.***