Belum lahir juga namanya Masa lalu, rupa-rupanya, tak hanya bisa ditemukan dalam buku-buku sejarah semata. Aceh masa lalu juga bisa kita temukan dalam catatan para petualang yang ditulis dalam bentuk novel; dan para petualang itu pun tak harus dimonopoli oleh mereka yang berasal dari bangsa-bangsa Portugis, Belanda, serta Inggris.
Begitulah, sampai pada suatu ketika saya menemukan Aceh seputar 1899 di dalam karya Karl May, Dan Damai Di Bumi! Penulis berkebangsaan Jerman. Hal ini penting untuk diketahui karena kala itu bangsa Jerman telah memiliki kesadaran politik akan keunikan dirinya diantara bangsa-bangsa Eropa lainnya yang sedang mengklaim sebagai bangsa Barat yang lebih berbudaya daripada bangsa-bangsa Timur. Seputar zaman itu, memang kolonialisme Barat sedang berada di puncaknya.
Karl May menuliskan karyanya itu atas dasar pengalaman petualangannya sendiri. Anehnya, ia menulis dengan perspektif perdamaian. Tentunya, ini sebuah cara pandang yang bertentangan dengan peperangan yang dikobarkan oleh kebijakan politik ekonomi negaranya.
Perihal ini, Karl May menyimpan kliping koran Handelsblad Padangs yang begitu mengesankan baginya, karena apalah artinya peperangan Belanda di Aceh?
Figur Rakyat Aceh Tahun 1899 |
“Hingga sekarang, perang Belanda melawan Sultan Atjeh telah memakan biaya 456.000.000 gulden. Dari situ, lebih 400.000 penduduk setempat telah ditembak mati, berarti masing-masing mereka senilai 1.140 gulden. Kalau saja kita beli tanah seharga 1.140 gulden per hektar kita akan punya tanah yang paling subur tidak kurang dari 40.000 hektar, dengan cara yang paling damai, dan tanpa rasa bersalah atas kematian orang sebanyak 60.000 jiwa….”
Suatu realitas perang yang diungkapkan ke publik, yang setelah itu, hingga perang yang baru berlalu, kita tidak pernah menemukan seberapa besar biaya perang yang telah dikeluarkan oleh Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka selama hampir 30 tahun. Akibatnya, generasi mendatang pun tidak memiliki bayangan untuk memperbandingkan biaya dan korban perang itu dengan kepentingan pembangunan yang bisa mendatangkan kedamaian dan kesejahteraan bagi rakyat Aceh.
Peperangan itu dinilai oleh Karl May justru dilakukan oleh bangsa yang mengklaim dirinya lebih beradab yang hingga hari ini “…belum juga mau menyadari bahwa ‘membawa peradaban’ tak ada bedanya dari ‘meneror’!
Baiklah, Karl May melakukan perjalanan ke Aceh dengan kapal Coen yang dilukiskan besar, indah, berkecepatan tinggi dengan teknologi mutakhir (tenaga uap) pada zamannya. Dari Penang, dengan tujuan Bandar Uleelheu. Namun kapal singgah di Edi (mungkin Idi), Lo-semaweh (Lhokseumawe), dan Segli (Sigli). Rupa-rupanya telah menjadi bandar kosmopolit pada kala itu. Kita bisa membandingkan sejauhmana degradasi bandar-bandar di Aceh pada saat ini.
Di pesisir sudah dibangun pos-pos militer Belanda untuk penyerangan ke pedalaman Aceh. Agaknya, kala itu Sultan Aceh sudah menyingkir ke wilayah pedalaman.
Bandar Uleelheu jauh lebih ramai. Karl May naik kereta api menuju Kota Raja, dan menginap di Hotel Rosenberg. Untuk melakukan perjalanan di dalam kota tersedia kereta kuda poni, yang berlari kencang dan kuat. Karl May mengatakan betapa orang Melayu sangat sayang dalam merawat kudanya. Sebuah situasi yang sulit untuk membayangkannya bagi generasi Aceh sekarang.
Tujuan Karl May ke Aceh, sebenarnya untuk membebaskan sahabatnya, sebuah keluarga Amerika, dari penyanderaan oleh orang Melayu di pedalaman Aceh, pegunungan Bukit Barisan. Tebusannya 50.000 gulden. Pasalnya, ayah mereka mengidap sejenis penyakit yang menurut saran medis harus beristirahat di wilayah hutan tropis. Namun, apa hendak dikata, ketika penyakitnya kumat, maka ia justru mengamuk dan membakar kuil yang terbuat dari kayu berukir dan memiliki hiasan emas.
Kuil? Klinting atau Klenteng. Sebuah realitas yang rupanya menjadi bagian dari keacehan masa itu. Memang, Islam adalah yang menjadi agama bagi penduduk di wilayah pesisir, namun pemukim yang berada di kampong kawasan pedalaman, masih ada yang menjadi pengikut Kon Hu Chu.
Kebetulan dalam rombongan Karl May terdapat seorang tabib muda, yang ahli dalam bidang tradisi keilmuan Cina yang telah tua, juga ia telah mempelajari keilmuan Barat di Eropa. Namun hal yang sangat menguntungkan, tabib muda itu juga piawai dalam hal keagamaan sehingga memudahkan komunikasi dan untuk mendapatkan kepercayaan dari komunitas Kong Hu Cu yang telah menyandera pasien berkebangsaan Amerika itu.
Sedangkan pemuka agama tersebut juga telah menimba ilmu ke Canton, dan kembali untuk menerapkannya di Aceh. Akibatnya, kasus tersebut dapat diselesaikan dengan cara diplomasi berbasiskan agama sehingga berlangsung damai.
Syafaat lain, muncul kesadaran di pihak orang Barat akan karakter Melayu. “Mereka orang terbaik di dunia, gagah, cerdas, bertenggang rasa, lembut, pemaaf, tidak egois, adil, dan terutama ramah.”
Lalu, apakah hikmah yang dapat dipetik dari kisah tersebut bagi kita yang hidup di zaman sekarang? Tentu hal yang sangat sukar untuk menjawabnya. Mungkin saya hanya dapat mengatakan pertama, mungkin ada banyak realitas masa lalu yang menjadi bagian dari keacehan itu telah hilang, bahkan belum sempat menyusup ke dalam memori generasi sekarang. Misalnya, ada keragaman keyakinan di dalam masyarakat Aceh hingga akhir abad 19. Mungkin, akibat tak pernah ada realitas tersebut dalam memori generasi sekarang, maka salah satu karakter orang Melayu Aceh yang disebut memiliki tenggang rasa itu, dalam kaitannya terhadap keberadaan penganut agama selain Islam di Aceh kini, telah hilang. Bahkan cenderung sensitif.
Kedua, saya dapat katakan bahwa Aceh mengalami degradasi kehidupan dan peradaban yang sangat dahsyat hingga hari ini. Bayangkan, Aceh lalu memiliki bandar-bandar besar yang kosmopolit, terbuka bagi dunia luar untuk masuk ke Aceh dan terbuka bagi orang Aceh untuk masuk kedua luar. Hal yang lebih tragis lagi, manakala generasi sekarang memiliki kekuasaan dan kekayaan maka yang dibangun justru lapangan terbang di hampir setiap kabupaten kota. Pembangunan Aceh kini –memang hasratnya untuk meraih kejayaan sebagaimana Aceh di masa lalu—namun, para penguasa ini bukannya merekonstruksi apa yang telah dicapai oleh generasi lalu.
Mereka ingin membangun Aceh sesuai hasratnya, bukan melanjutkan sejarah Aceh. Ketidaksinambungan, ini masalah baru yang diciptakan oleh penguasa sekarang.***