Beranda » Aceh Timur dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949

Aceh Timur dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949



Pendahuluan

Perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945 – 1949 merupakan salah satu peristiwa yang terjadi dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, khususnya pada waktu pembentukan dan penyusunan negara Republik Indonesia setelah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Peristiwa ini merupakan perjuangan yang mempunyai nilai yang amat penting dalam perkembangan bangsa Indonesia.

Perjuangan mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada waktu itu meliputi seluruh wilayah Indonesia termasuk di dalamnya daerah Aceh. Sejak awal proklamasi daerah Aceh telah ditetapkan sebagai salah satu keresidenan dalam wilayah propinsi Sumatera. Penentuan statusnya berlaku surut sejak tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai residennya ditetapkan Teuku Nyak Arief, sedangkan ibukota keresidenan adalah Kutaraja (sekarang Banda Aceh).

Keresidenan Aceh yang terdiri dari beberapa daerah kabupaten, pada Agresi Belanda yang pertama dan yang kedua turut aktif dalam mempertahankan kemerdekaan. Salah satu adalah Kabupaten Aceh Timur dengan Ibukotanya Langsa selama perang kemerdekaan Indoneisa di Aceh turut juga memegang peranan penting.

Aceh Timur Sebagai Basis Ekonomi
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 daerah-daerah Aceh sebagai bagian dari pemerintah RI harus berusaha berdiri sendiri dalam hal perbelanjaan negara baik untuk memenuhi perlengkapan pemerintah maupun alat-alat senjata. Tindakan itu dilaksanakan dengan mengaktifkan potensi-potensi ekonomi seperti perkebunan, pertambangan dan perdagangan luar negeri.

Daerah Aceh Timur sesuai dengan letak geografi yang strategis baik dengan jalur hubungan luar negeri maupun dengan hasil-hasil kekayaan alam yang cukup memadai. Potensi-potensi tersebut memegang peranan penting dalam bidang ekonomi. Mengenai hasil perkebunan karet untuk membiayai perjuangan kemerdekaan, Abdullah Hussain (1984) mengemukakan bahwa Langsa merupakan modal untuk Aceh karena daerah tersebut cukup banyak menyimpan stok getah dan minyak kelapa sawit, karena di daerah inilah terdapat estate-estate yang besar dan stoknya tidak diganggu oleh Jepang.

Hal ini dimungkinkan karena daerah Aceh Timur mempunyai kebun-kebun karet dan kelapa sawit yang luas, seperti perkebunan Taming, perkebunan Langsa, perkebunan Idi, perkebunan Peureulak. Selain perkebunan-perkebunan swasta asing itu, juga ada perkebunan rakyat sehubungan dengan adanya pendapatan daerah dari sektor perkebunan sehingga rakyat Aceh Timur juga melakukan perdagangan dengan Malaysia dan Singapura.

Pertukaran barang-barang dengan luar negeri merupakan tantangan besar yang dihadapi oleh rakyat Aceh Timur karena Belanda pada waktu itu telah menguasai Selat Malaka dan dijaga dengan ketat setiap adanya usaha-usaha perdagangan. Dalam kegiatan perdagangan tersebut juga tidak dapat dilupakan peranan Angkatan Laut Republik Indonesia di daerah Aceh, yang mempunyai tugas untuk memelihara dan menjaga keamanan pantai, serta kepada armada perdagangan yang telah menembus blokade Angkatan Laut Belanda untuk mencari alat-alat perjuangan, senjata dari luar negeri.

Setelah Belanda melancarkan agresi pertama yang berhasil menduduki dan menguasai pelabuhan-pelabuhan di Jawa dan Sumatera, kegiatan perdagangan yang ditempuh melalui penerobosan blokade Angkatan Laut Belanda mulai berkurang, hal tersebut dikarenakan Angkatan Laut Belanda menjaga ketat hubungan Indonesia dengan luar negeri dengan cara mengadakan blokade di perairan Indonesia. Kemudian daerah operasi dan ruang gerak kapal-kapal armada perdagangan menjadi sempit. Walaupun demikian usaha-usaha perdagangan terus dijalankan dengan memindahkan daerah-daerah operasi ke pelabuhan yang terletak di pantai timur Aceh yaitu Langsa.

Pemindahan daerah operasi tersebut dikarenakan daerah Aceh merupakan salah satu daerah Indonesia yang tidak dapat diduduki dan dikuasi oleh Belanda, dan daerah Aceh juga mempunyai sumber-sumber daya alam yang laku di pasaran internasional, seperti minyak kelapa sawit, karet dan lada. Sumber-sumber alam tersebut semuanya dapat dibarter dengan mudah dengan barang-barang dari luar negeri, seperti barang-barang dari Malaysia dan Singapura. Dengan pemindahan daerah operasi penembusan blokade Angkatan Laut Belanda maka daerah Aceh Timur menjadi basis penerobosan Angkatan Laut Belanda, penerobosan tersebut dilaksanakan di sepanjang pesisir pantai Tamiang. Penerobosan pertama dilaksanakan oleh Speed Boat PP 58 LB yang dipimpin oleh Mayor John Lie dengan menempatkan pangkalan yang pertama di Sungai Tamiang/Peukan Seuruwe.

Penerobosan blokade Angkatan Laut Belanda tersebut berhasil dijalankan dengan baik sehingga dapat memasukkan alat-alat perjuangan ke daerah Aceh. Adapun hasil penerobosan itu, Angkatan Laut Republik Indonesia daerah Aceh telah berhasil mempersenjatai anggotanya terutama yang bertugas di Station Angkatan Laut Langsa yang berjumlah lebih kurang 500 orang. Selain dari itu juga dapat menutupi kekurangan peralatan perlengkapan kantor, pakaian dan buku-buku pelajaran. Dalam bidang kesehatan juga dapat dipenuhi karena persediaan obat-obatan yang diperoleh dari perdagangan tersebut cukup banyak, selain untuk memenuhi keperluan Angkatan Laut Republik Indonesia daerah Aceh juga diberikan untuk menunjang perjuangan rakyat Aceh dan untuk pemerintah darurat Republik Indonesia.

Setelah Mayor John Lie diangkat menjadi Kepada Pertahanan Luar Negeri, kapal PP 58 LB diserah terimakan kepada O.P. Koesno. Dalam melaksanakan tugas tersebut Kapten O.P. Koesno juga berhasil menembus blokade Belanda di Selat Malaka sehingga berhasil memasukkan senjata ke daerah Aceh yang berpangkalan tetap di Sungai Tamiang. Tindakan yang sama juga dilaksanakan oleh Speed Boat 62 di bawah pimpinan Kapten Mahdi yang berpangkalan di Limau Mengkur, Speed Boat 63 di bawah pimpinan Peutua Bungsu, Speed Boat 66 di bawah pimpinan Mayor Simon.

Keberhasilan perdagangan yang dilaksanakan melalui penerobosna blokade Belanda dari pangkalan-pangkalan yang tersebut di atas juga tidak bisa dipisahkan dari peranan Angkatan Laut Station Langsa. Dengan demikian daerah Aceh Timur merupakan suatu daerah pemasukan perlengkapan pemerintah baik alat-alat perkantoran maupun alat-alat persenjataan yang sangat besar artinya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Sehubungan dengan penjelasan di atas daerah Aceh Timur juga aktif dalam pengendalian perekonomian negara Republik Indonesia, dengan membentuk Ekonomi Negara Republik Indinesia (ENRI) di bawah pimpinan Buyung Jafar dan M. Risyat, badan ekonomi tersebut merupakan cabang dari Medan.

Untuk menyelesaikan persoalan alat tukar di Aceh Timur, menurut SM. Amin (1978): Sebelum pengeluaran uang kertas Propinsi Sumatera Utara, Oesman Adamy tidak sabar menunggu tindakan pemerintah dalam persoalan kekuragan alat tukar ini, atas inisiatif sendiri mencetak uang kertas yang dipergunakan sebagai alat pembayaran. Uang tersebut laku dalam masyarakat dan dianggap sebagai uang yang sah.

Kemudian Aceh Timur juga banyak memberi andil kepada perjuangan kemerdekaan dari hasil pertambangan minyak bumi. Dalam hal tersebut Abdullah Hussain (1984) mengatakan pemerintah daerah Aceh telah memanfaatkan tambang minyak Pangkalan Berandan sebagai sumber keuangan yang utama. Tambang minyak tersebut ditinggalkan oleh Jepang setelah melaksanakan sistem bumi hangus. Tambang minyak tersebut berhasil diperbaiki oleh buruh-buruh Indonesia dan dapat memperoleh hasil yang menguntungkan. Sumber bahan mentah untuk pabrik minyak tersebut berasal dari Aceh Timur seperti Julok, Peureulak, dan Rantau Kuala Simpang dan dialirkan melalui pipa ke Pangkalan Berandan untuk diproses menjadi beberapa jenis minyak jadi dan dipergunakan untuk keperluan perjuangan kemerdekaan. Untuk menghindari dari ancaman Belanda, pada tanggal 13 Agustus 1947 pabrik minyak Pangkalan Berandan itu terpaksa dibumi hanguskan dan sebelumnya peralatan-peralatan dari pabrik minyak tersebut banyak dipindahkan ke tambang minyak Rantau Kuala Simpang dan Rantau Panjang Peureulak Aceh Timur, pemindahan alat-alat perlengkapan tersebut membawa pengaruh besar terhadap kedua tambang minyak tersebut yaitu dapat menambah jumlah produksi dan bahan bakar minyak bagi kepentingan militer dan masyarakat umum. Pemindahan dan pembangunan kilang minyak ke Peureulak dimaksudkan sebagai pengaman unit produksi dan logistik seandainya tambang minyak Rantau Kuala Simpang terpaksa harus dibumihanguskan.

Setelah proklamasi, seluruh kekuasaan Jepang di Aceh Timur termasuk perusahaan pertambangan dapat diambil alih oleh pemerintah Indonesia di Aceh, khususnya di Aceh Timur. Sebelumnya Jepang telah merencanakan untuk membumihanguskan tambang minyak yang ada di Aceh Timur, tetapi dengan usaha yang dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat, tambang minyak tersebut dapat diselamatkan dan dijalankan oleh pemerintah.

Pengambil alih kekuasaan tambang minyak Rantau Kuala Simpang dan Julok dipimpin oleh Tgk. Amir Husin Almujahid dan Abdurrahman C.S dengan menghadapi tentara-tentara Jepang yang mempunyai senjata yang lengkap. Setelah tambang minyak tersebut dikuasai, dengan persetujuan Residen Aceh dan Gubernur Sumatera maka dibentuklah suatu organisasi tambang minyak Aceh dengan pimpinan umumnya: Tgk. Amir Husin Almujahid, Kepala Lapangan: Abdurrahman C.S dan kedudukan kantornya berpusat di Langsa, Aceh Timur.

Setelah terorganisir tambang minyak tersebut dapat berproduksi kembali dengan memproduksikan beberapa jenis minyak jadi. Hasil produksi minyak tersebut sebagian besar dipergunakan untuk kepentingan pemerintah dan untuk membiayai perjuangan rakyat dalam mempertahankan kemerdakaan yang telah diproklamasikan.

Aceh Timur sebagai Basis Penampungan Pengungsi
Gerakan-gerakan pengacauan yang dilanjutkan dengan kegiatan agresi yang pertama dan kedua mengakibatkan tidak terjaminnya ketentraman dan keselamatan jiwa penduduk Sumatera Timur, sehingga mereka banyak meninggalkan daerahnya untuk mengungsi ke daerah lain yang dipandang lebih aman dan tentram terutama ke daerah Aceh yang merupakan satu-satunya daerah di Sumatera yang terhindar dari ancaman Belanda.

Selain dari keadaan Aceh yang aman juga merupakan daerah yang mudah dijangkau oleh penduduk Sumatera Timur, bahkan daerah Aceh Timur merupakan garis perbatasan dengan daerah mereka, sehingga penduduk dari Sumatera Timur lebih banyak mengungsi ke daerah Aceh dan khususnya di Aceh Timur.

Para pengungsi menempuh jalan melalui hutan menuju ke daerah Aceh Timur, terutama sekali ke Langsa yang diperkirakan lebih kurang sebanyak 300.000 jiwa. Selain yang bermukin di Aceh Timur ada juga yang meneruskan pengungsiannya ke Aceh Utara, Pidie, dan Aceh Besar (Saree). Dalam perjalanan, sebelum sampai ke daerah Aceh para pengungsi juga tidak luput dari gangguan pihak yang tidak bertanggung jawab yang merupakan pengkhianat kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Adapun gangguan yang menimpa para pengungsi dalam perjalanan ke Aceh yaitu perampasan, pemaksaan dan pemerkosaan.

Setelah para pengungsi sampai ke daerah Aceh Timur mereka disambut dan diperlakukan dengan penuh rasa persaudaraan secara ke-Islaman oleh rakyat Aceh dan khususnya masyarakat Aceh Timur. Menurut Abdullah Hussain (1984):
Walaupun keadaan penghidupan rakyat sudah mulai sukar karena bahan-bahan makanan sudah berkurang sejak zaman Jepang, kemampuan yang kurang cukup tetapi rakyat Aceh dengan rela dan ikhlas telah menerima kedatangan saudara-saudaranya yang mengungsi dari daerah Sumatera Timur yang menjadi jirannya, mereka yang taat kepada pemerintah Republik Indonesia, beramai-ramai mengungsi ke Aceh. Ada yang menampung pada kaum keluarganya dan yang paling banyak yang berkongsi tempat tinggal dengan orang-orang yang baru saja dikenalnya. Mereka tidak saja berkongsi tempat tinggal tetapi juga berkongsi bahan makanan apa yang ada.

Sehubungan dengan letak geografis daerah Aceh Timur yang berdekatan dengan daerah asal pengungsi, sehingga para pengungsi banyak yang bermukin di daerah Aceh Timur. Para pengungsi pada waktu itu terus menerus bermukim di Aceh Timur. Dengan demikian pemerintah daerah Aceh Timur membentuk panitia pengungsi di bawah naungan markas pertahanan Aceh Timur, Batalion Enam. Adapun yang menjadi ketua dari panitia tersebut adalah Usman Adamy sebagai Ketua Umum, Ismail Usman sebagai Ketua Satu, Hamid Abdullah sebagai Sekretaris.

Selanjutnya melalui panitia penampungan dan pengaturan pengungsi tersebut, para pengungsi dimungkinkan menetap degan sebaik-baiknya sehingga mereka tidak hanya bermukim pada satu tempat saja, tetapi merata di seluruh daerah Aceh Timur seperti di Kuala Simpang, Peureulak, Idi, dan Simpang Ulim. Selain dari itu panitia tersebut juga mengurus dan memberikan bantuan dalam bidang pekerjaan. Tindakan itu sesuai dengan keterampilan yang dimiliki oleh para pengungsi. Para pegawai pemerintah diperbantukan pada kantor-kantor pemerintahan, para petani diberikan tanah untuk berkebun dan menyawah, para nelayan diberikan perlengkapan-perlengkapan panangkapan ikan dan para ulama diperbantukan pada sekolah-sekolah agama dan umum.

Untuk mendapat bantuan dari masyarakat di luar daerah Aceh Timur. Tindakan mereka adalah menyebarkan seruan pertolongan ke daerah lain dan seruan itu mendapat perhatian masyarakat di luar daerah Aceh Timur, sehingga datanglah sumbangan-sumbangan dari seluruh daerah Aceh ke Langsa baik materil maupun spirituil untuk para pengungsi.

Penutup
Dalam periode tahun 1945 – 1949 masyarakat Aceh Timur sesuai dengan potensi alamnya baik dari hasil maupun letak geografisnya yang strategis telah memberikan kontribusi kepada negara Republik Indonesia yang meliputi tentang perbelanjaan negara dan pengadaan alat-alat perjuangan. Kontribusi tersebut bersumber dari hasil-hasil perkebunan, pertambangan minyak tanah serta perdagangan luar negeri.

Selain dari itu daerah tersebut berperan penting sebagai basis penampungan pengungsi dari Sumatera Timur yang terdiri dari suku Jawa, Batak, Melayu dan Padang. Mereka diterima dengan rela dan ikhlas serta diperlakukan sebagai saudara sebangsa, sehingga tercipta kehidupan berdampingan yang harmonis antara masyarakat setempat dengan para pengungsi