BIOGRAFI MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB
Nama lengkap : Abdullah Muhammad bin Abdul Wahab Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid At-Tamimi
Lahir : Uyainah, Najd pada tahun 1115 H/1703 M.
Nama Bapak : Abdul wabah (seorang qodi/ hakim)
Abdullah Muhammad bin Abdul Wahab meniti karir dari ayahnya sendiri dibidang fiqih bermadzhab Hambali, Al-Qur’an (tafsir), hadits dan tauhid. Pendidikan yang diterima dari ayahnya telah menjadi dasar yang kuat bagi Muhammad bin Abdul Wahab dalam menghafal Al-Qur’an dan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Kutubus Sittah. Memasuki usianya yang ke-20 (dua puluh), ia sudah mulai bersikap kritis terhadap kondisi sosial dan keagamaan pada masyarakatnya. Tak jarang ia melakukan kritikan bahkan celaan terhadap segala macam bentuk kepercayaan yang berbau kemusyrikan dan praktik-praktik yang menyimpang dari syari’at Islam.
Sikap kritisnya berdampak besar bagi diri dan keluarganya. Ia sendiri diasingkan oleh para ulama. Sementara ayahnya dipecat dari jabatannya sebagai Qadi. Akibat tekanan politik dan keagamaan masyarakatnya, ditambah dengan pemecatan ayahnya, menyebabkan keluarga Muhammad bin Abdul Wahab tidak dapat menjalani kehidupan sebagaimana mestinya. Menyadari kenyataan ini, akhirnya Muhammad dan keluarganya pergi hijrah ke Huraimila pada tahun 1726 M. Tetapi mereka tidak lama menetap di daerah ini. Karena itu, mereka berusaha untuk kembali ke kampung halaman di Uyainah, namun kedatangan mereka tidak disambut dengan baik, karena dirinya telah mempermalukan masyarakat Uyainah, dan posisi ayahnya juga telah jatuh.
Abdullah Muhammad bin Abdul Wahab Akhirnya memilih pergi meninggalkan Uyainah dan menuju Hijaz. Di kota inilah Muhammad bin Abdul Wahab menunaikan ibadah haji. Menurut laporan Ibn Bishr di dalam kitabnya Unwan di Madinah belajar dibawah bimbingan dua orang syeikh yaitu Abdullah bin Ibrahim bin Sayf dan syeikh Muhammad Hayyat Al-Sindi. Ke dua syeikh tersebut adalah pengagum ajaran Ibnu Taimiyah dan ulama yang menganjurkan untuk melakukan gerakan reformasi dimana-mana.
Doktrin yang diterima dari kedua ulama’ tersebut memberi pengaruh besar terhadap pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab. Muhammad Hayyat memberikan pengaruh besar atas pandangan-pandangan keagamaan Muhammad bin Abdul Wahab, terutama menyangkut pentingnya doktrin tauhid, penentangan terhadap taqlid, dan perlunya kembali kepada Al-Qur’an dan hadits. Muhammad Hayyat, termasuk salah seorang yang menentang pertikaian yang tidak perlu di antara mazhab-mazhab, dan sebaliknya mengajarkan toleransi dan rekonsiliasi.. Lebih jauh lagi, ia menghimbau ulama untuk melakukan ijtihad berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Ia juga menentang inovasi yang tak berdasarkan (bid’ah al-dhalalah) yang dapat membawa kepada syirik.
Sementara itu Abdullah bin Ibrahim bin Sayf adalah seorang ulama yang terkemuka di Madinah yang menguasai fiqh Hambali dan hadits. Selain itu, Ibnu Sayf juga salah seorang peagum pemikiran Ibnu Taimaiyah yang menyerukan kepada kaum muslimin untuk kembali kepada Al-Qur’an dan hadits serta meninggalkan praktik-praktik bid’ah mereka. Oleh karena itu, tampaknya ada kemungkinan besar ia menyuruh Muhammad bin Abdul Wahab membaca karya-karya Ibnu Taimaiyah. Ibnu Syf yang meikuti perkembangan Ibnu Taimiyah percaya bahwa perubahan harus dilaksanakan untuk menyebarkan pemahaman serta praktik-praktik Islam yang benar. Hanya saja cara yang dianjurkannya tidak dengan kekerasan, melainkan dengan cara-cara sejuk dan damai, seperti melalui pengajaran. Selain itu juga diketahui bahwa Ibnu Sayf mengatakan kepada Muhammad bin Abdul Wahab bahwa senjata yang paling baik lainnya untuk memerangi keyakinan dan praktik-praktik agama yang tidak benar adalah buku.
Proses evolusi intelektual Muhammad bin Abdul Wahab adalah ketika ia melanjutkan studinya ke Basra dan tinggal menetap di kota ini selama 4 (empat) tahun. Di Basra, ia mempelajari hadits, fiqh dan filologi. Salah seorang gurunya di Basra adalah Muhammad Al-Majmu’i. Selain aktifitas belajar dari para ulama setempat, ia juga aktif dalam kelompok studi. Aktifitas lainnya yaitu mengajak para ulama untuk melakukan reformasi dunia Islam. Namun usahanya itu mendapat perlawanan dari para ulama, sehingga ia pun meninggalkan Basra.
Abdullah Muhammad bin Abdul Wahab kemudian mengikuti pendidikan di Basra, ia pindak ke Bagdad. Di kota ini ia memasuki kehidupan baru dengan menikahi seorang wanita kaya. Lima tahun kemudian, setelah istrinya meninggal dunia, ia pindah ke Kurdistan kemudian ke Hamdan dan Isfahan. Di kota terakhir ini, ia sempat mempelajari filsafat dan tasawuf. Setelah bertahun-tahun merantau, akhirnya ia kembali ke tempat kelahirannya di Najd.
Di negeri asalnya itu, ia masih sempat mempelajari tafsir Al-Qur’an, syarah assunah dan kitab-kitab lain mengenai ilmu-ilmu keislaman, seperti kitab karangan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayim Al-Jauziah.
Sejak ia tinggal di Najd, Abdullah Muhammad bin Abdul Wahab mulai bersikap kritis terhadap praktik-praktik keagamaan yang bersifat khurafat, bid’ah dan syirik. Akibat dari sikap kritisnya ini, ia mendapat perlawanan keras dari para ulama dan bahkan dari ayahnya sendiri. Semua pemikiran keras ((radikal itu, ditulisnya ke dalam bentuk buku yang berjudul Kitab Al-Tauhid. Karyanya ini ditulisnya ketika ia menetap kembali ke kampung halamannya, Unaiyah, Najd. Kitab ini dicetak berulangkali dan disebarkan ke kota Najd.
Pemikirannya yang dianggap keras tersebut baru diwujudkan dalam bentuk gerakan setelah kematian ayahnya pada tahun 7440 M. Sejak saat itulah pemikirannya tentang perlunya kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan hadits dan hanya Allah yang maha Esa, disebarkan ke dalam bentuk gerakan yang sangat agresif.
Dalam waktu yang relatif singkat, gerakan dan pengaruh pemikiran reformasi tauhid yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab tersebar luas. Gerakannya ini semakin kuat ketika salah seorang penguasa Uyainah bernama Usman bin Mu’ammar melindungi gerakannya. Usman bin Mu’ammar mencoba merealisasikan dasar-dasar gerakan Muhammad bin Abdul Wahab. Aktifitas pertama yang dilakukannya adalah menghancurkan makam Zayd bin al-Khattab, yang banyak dikunjungi masyarakat untuk meminta berbagai keperluan dan sebagainya. Selain itu, ia juga mulai menghidupkan kembali penerapan hukum Islam tentang perzinahan. Bagi pelaku zina, laki-laki dan perempuan harus dirajam hingga mati.
Aktifitas Muhammad bin Abdul Wahab mendapatkan perlindungan dari penguasa Uyainah ini, mendapatkan reaksi dari para ulama dan masyarakat sekitarnya. Karena begitu kuatnya perlawanan tersebut, akhirnya ia meninggalkan Uyainah dan pergi ke kota Dar’iyah. Kota ini berada di bawah kekuasaan Muhammad bin Sa’ud. Di kota ini, Muhammad bin Abdul Wahab menetap selama lebih kurang 2 (dua) tahun, dan selama itu pula ia mempropagandakan pandangannya dan mengirimkan surat kepada penguasa, ilmuan dan kepala suku di Arabia.
Pada tahun 1744 M Ibnu Sa’ud dan Muhammad bin Abdul Wahab telah membentuk koalisi dalam menyebarkan gerakan Wahabiyah. Penguasa dan pemimpin reformis ini saling bekerja sama dalam menciptakan negara Saudi yang berideologi Wahabi.
Pada tahun 1773 M aktifitas Muhammad bin Abdul Wahab lebih terfokus kepada pendidikan ibadah saja. Hal ini dilakukan terus-menerus hingga kematiannya pada tahun 1791 M. Kematiannya ini tidak membuat gerakan Wahabiyah padam, melainkan terus menyebar dan berpengaruh ke daerah-daerah lain di Jazirah Arabia. Paham ini menjadi kuat ketika Wahabiyah dijadikan sebagai ideologi negara kerajaan Saudi Arabia hingga kini.
Pemikiran dan karya Muhammad bin Abdul wahab
1. Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab
Terdapat tiga faktor yang menjadi latar belakang kemunculan gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab.
1). Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan dalam lingkungan keluarga yang memiliki basis agama yang cukup kuat. Dengan didikan dan tempaan yang matang dalam bidang agama, khususnya mazhab Hambali, menjadi modal dasar dalam pembentukan pemikirannya.
2). Dari kedua guru Muhammad Hayyat dan Ibnu Sayf, Muhammad bin Abdul Wahab banyak mengenal dan mengkaji pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah. Seperti diketahui bahwab Ibnu Taimiyah yang hidup pada peralihan abad ke- dn ke- dikenal sebagai bapak pembaharuan, karena ide dan pemikirannya untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, pembukaan kembali pintu ijtihad dn anti taqlid merupakan tema pokok dalam pemikirannya. Seruan ini kemudian banyak mempengaruhi pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab.
3). kondisi sosio-relegius di Najd dan daerah-daerah yang dikunjungi sangat memprihatinkan, terutama paham tauhid yang banyak menyimpang dari ajaran Islam. Pada setiap negara yang dikunjunginya, Muhammad bin Abdul Wahab melihat kuburan-kuburan syekh terekat bertebaran. Tiap kota, bahkan juga kampung-kampung mempunyai kuburan syekh atau wali masing-masing. Ke kuburan-kuburan itu umat Islam pergi naik haji dan meminta pertolongan dari syekh atau wali yang dikuburkan di dalamnya untuk menyelesaikan problema hidup mereka sehari-hari. Ada yang meminta supaya diberi anak, jodoh, disembuhkan dari penyakit dan meminta kekayaan dan lain sebagainya. Selain itu, masyarakat masih dipengaruhi oleh keyakinan animisme. Mereka meyakini pohon dan batu-batuan yang memiliki kekuatan ghaib serta tempat-tempat tertentu untuk meminta pertolongan dalam mengatasi persoalan-persoalan hidup mereka.
Pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab di antaranya;
a. Tauhid
Tauhid merupakan tema sentral dalam pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab Tauhid. Menurutnya, seperti yang ada dalam bukunya Kitab Al-Tauhid, yakni Al-Ibadah atau pengabdian kepada Allah, karena rasul yang diutus Allah memulai seruannya kepada manusia agar beribadah hanya kepada Allah SWT. Selanjutnya ia mengartikan kalimat tauhid La ilaha illallah bahwa hanya Allah-lah yang mempunyai kekuasaan hakiki dan hanya Allah pula-lah yang patut disembah selain Allah adalah syirik dan thagut.
Muhammad bin Abdul Wahab membagi tauhid dalam empat bagian yaitu: Tauhid Uluhiyah, (tauhid terhadap Allah sebagai yang disembah). Tauhid Rububiyah, (tauhid terhadap Allah sebagai pencipta segala sesuatu), Tauhid Asma dan Sifat, (tauhid yang berhubungan dengan nama dan sifat Allah), dan Tauhid Af’al (tauhid yang berhubungan dengan perbuatan Allah).
Namun dari ketiga tauhid yang disebut terakhir hanya tauhid ilmu dan keyakinan saja. Adapun tauhid yang sesungguhnya adalah tauhid Uluhiyah. Menurutnya, kebanyakan manusia di muka bumi ini hanya memiliki salah satu dari tiga bentuk tauhid (Rububiyah, Asma dan Sifat, serta Af’al), sedangkan tauhid uluhiyah ditolak oleh banyak orang.
Kesimpulan tauhid yang diajarkan dari Muhammad bin Abdul Wahab pada intinya sebagai berikut ;
1). Yang boleh dan harus disembah hanyalah Tuhan Allah SWT, dan bagi orang yang menyembah selain dari Tuhan Allah telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh.
2). Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya, karena mereka meminta pertolongan bukan lagi kepada tuhan tetapi dari syekh atau wali dari kekuatan ghaib. Orang Islam yang demikian menjadi musyrik.
3). Menyebut nama nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa juga merupakan syirik.
4). Meminta syafa’at selain dari kepada Tuhan Allah adalah juga syirik.
5). Bernazar kepada selain dari Tuhan Allah juga syirik
6). Memperoleh pengetahuan selain dari Al-Qur’an, hadits dan qiyas merupakan kekufuran.
7). Tidak percaya kepad qada dan qadar Tuhan juga merupakan kekufuran.
8). Menafsirkan Al-Qur’an dengan ta’wil (interpretasi bebas) adalah kafir.
Ajaran tauhid yang dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab bukan hanya dalam tatanan teoritis, tetapi ia juga mencoba mewujudkan pemikiran tauhidnya dalam bentuk aksi. Dengan gerakan wahabiyahnya, ia berusaha keras untuk memurnikan ajaran Islam dan mengembalikan ajaran pemahaman umat Islam kepada Islam yang murni, yakni Islam yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadits. Ia pun mengajarkan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.
b. Terbukanya pintu ijtihad dan melarang taqlid
Seruan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits membawa konsekkuensi logis bagi terbukanya pintu ijtihad. Hal ini dapat dipahami karena tidak semua ajaran Islam yang bersifat universal diformulasikan secara rinci di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dengan terbukanya pintu ijtihad, maka Muhammad bin Abdul Wahab melarang umet Islam untuk bertaqlid kepada para ulama.
c. Penetapan hukum Islam harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits
Prosedur yang harus dilalui dalam menetapkan hukum Islam yaitu pertama-tama harus meneliti apakah persoalan tersebut terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Jika tidak ada, maka diperlukan ijma’ (konsensus). Bagi Muhammad bin Abdul Wahab, ijma’ dipahami secara terbatas, yakni pada beberapa generasi muslim pertama.
d. Tawassul dan bid’ah
Muhammad bin Abdul Wahab membantah dengan keras lawan-lawannya yang membolehkan adanya tawassul. Menurutnya, ibadah dimaksudkan untuk menyerahkan seluruh ucapan dan tigkah laku hanya kepada Allah semata. Meminta bantuan atau perlindungan melalui perantaraan seseorang atau kepada simbol-simbol yang bersifat mistik dilarang dalam Islam. Sementara itu, dalam mengartikan bid’ah Ibn Abdul Wahab sangat ketat. Bid’ah didenifisikan sebagai ajaran atau aktifitas yang tidak berdasarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah (praktik-praktik yang dijalankan oleh Rasullulah). Ia menolak semua bentuk bid’ah. Baginya tidak ada bid’ah hasanah. Beberapa contoh yang diklaim sebagai bid’ah yaitu; memasang kain Raudhah, mengucapkan kata Sayyidina Muhammad, merayakan hari lahirnya nabi, meminta tawassul dari para wali, mengirimkan Fatihah kepada para pendiri sufi setelah sholat lima waktu, dan mengulang sholat lima waktu setelah selesai shalat Jum’at di bulan Ramadhan.
2. Karya-karya Muhammad bin Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab dapat digolongkan sebagai ulama yang produktif. Hal ini dapat dilihat dari karangannya yang mencapai puluhan judul. Kitab-kitabnya itu antara lain adalah:
Kitab Al-Tauhid, yang isinya berkisar tentang ajaran pemberantasan bid’ah dan kurafat yang terdapat di kalangan masyarakat dan ajaran untuk kembali pada ajaran tauhid yang murni.
Tafsir Surah Al-Fatihah
Mukhtasar Sahih Al-Bukhari
Mukhtasar As-Sirah An-Nabawiyah
Nasihah Al-Mudlimin bi Ahadis Khatam An-Nabiyin
Usuhul Iman
Kitabul Kabair
Kasyf Asysyubuhat
Salasul Usul
Adabul Masi Ila As-Salah
Ahadis Al-Fitah
Mukhtasar Zad Al-Ma’ad
Al-Masa’il Al-Lati Khalafa Fiha Rasulullah Ahi Al-Jahiliyah
At-Tauhid Fi Ma Yajibu min Haqqillah ‘Alal ‘Abid
Arba’i Qawa’id fittauhid
Istinbathul Qur’an.
Gerakan Wahabiyah dan implikasinya pada pembaharuan Islam
Gerakan Wahabiyah tidak bisa dilepaskan dari nama Muhammad bin Abdul wahab. karena dialah yang membangun gerakan tersebut. Namun, nama gerakan itu tidak berasal dari Muhammad bin Abdul Wahab sendiri, melainkan dari golongan lain yang menjadi lawannya. Para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab menamakan kelompoknya dengan sebutan Al-Muwahidun, yaitu kelompok yang berusaha mengesakan Tuhan semurni-murninya. Selain itu, mereka menamakan dirinya sebagai kaum Suni, pengikut mazhab Hambali, seperti yang dianut oleh Ibnu Taimiyah.
Para ahli sejarah menilai bahwa tujuan didirikan gerakan Wahabiyah adalah usaha untuk melakukan usaha perbaikan semata-mata, maksudnya memperbaiki kepincangan-kepincangan, menghapuskan segala perbuatan takhayul dan kembali pada Islam sejati. Namun dalam perkemangan sejarahnya, orientasi gerakan ini mengalami pembiasaan sehingga tujuan awal untuk pemurnian ajaran tauhid mengalami perkembangan dengan menambahkan adanya misi politik untuk membangun negara Saudi. Perubahan orientasi ini terlihat jelas ketika Muhammad bin Abdul Wahab berkoalisi dengan keluarga Al-Sa’ud untuk memperluas wilayah kekuasaan dan kemudian mendirikan kerajaan Saudi Arabia.
Gerakan Wahabiyah dapat dikatagorikan ke dalam tiga periode:
1. Periode Muhammad bin Abdul Wahab
Periode ini merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan awal dari gerakan Wahabiyah. Seperti yang telah diuraikan pada bagian awal bahwa ketika Muhammad bin Abdul Wahab berada di Basra, ia sudah melakukan berbagai analisis kritis dan kritikan tajam mengenai keadaan masyarakat di kota itu. Sikap ini menunjukkan adanya keinginan Muhammad bin Abdul Wahab untuk melakukan upaya gerakan reformasi akidah dan pemurnian ajaran Islam dari berbagai ketidabenaran dan penyimpangan. Keinginan tersebut baru dapat diwujudkan dalam bentuk gerakan ketika ia kembali lagi ke kampung halamannya, Uyainah, Najd. Bahkan dalam kurun waktu yang tidak begitu lama, gerakan tersebut semakin tumbuh berkembang hingga akhirnya terjadi koalisi dengan penguasa Usman bin Mu’ammar.
Kemudian pada tahun 1744 M, gerakan Wahabiyah lahir di Dar’iyah, berkat kerja sama yang baik antara Muhammad bin Abdul Wahab dengan Muhammad bin Sa’ud. Dua orang tokoh inilah yang kemudian mengembangkan gerakan Wahabiyah dan menjadikannya sebagai simbol gerakan dan ideologi karajaan Saudi Arabia.
Kematian kedua tokoh ini, Muhammad bin Saud pada tahun 1765 M dan Muhammad bin Abdul Wahab pada tahun 1792 M, tidak menghentikan misi kedua tokoh tersebut dalam melakukan usaha gerakan reformasi Islam. Gerakan Wahabiyah dalam kepemimpinan selanjutnya di pegang oleh keluarga Saud dan keturunan keluarga Muhammad bin Abdul Wahab.
Oleh karena itu, di sekitar permulaan abad ke-19 M, masyarakat Saudi Arabia, Wahabiyah menguasai semenanjung Arabia dan kota suci Mekkah dan Madinah. Selanjutnya, untuk menyebarkan paham Wahabiyah secara luas, kaum Wahabi melakukan ekspansi ke wilayah Irak dan Syria. Namun usaha itu mendapatkan perlawanan dari penguasa Turki. Pemimpin Turki meminta bantuan kepada Gubenur Mesir, Muhammad Ali Pasha, untuk mengirim tentaranya mengalahkan kaum Wahabi. Akhirnya pada tahun 1812 M tentara Mesir menduduki Madinah dan tahun 1818 M menguasai pusat pemerintahan Saudi di Dar’iyah. Dengan kekalahan ini, maka periode gerakan pertama Wahabiyah berakhir.
2. Periode Negara Saudi yang Berideologi wahabiyah
Tentara Mesir tidak lama menguasai Arabia. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para pemimpin Saudi untuk mengambil alih kekuasaan, kemudian mereka mendirikan pusat pemerintahan di Riyadh. Tokoh kunci yang mengambil alih kekuasaan ini adalah cucu Muhammad bin Saud, yakni Turki (wafat 1834), dan anak-anaknya Faisal (wafat 1865). Negara Wahabi yang baru ini secara politis dan keagamaan lebih kecil dibandingkan dengan negara Saudi-Wahabi yang pertama. Meskipun demikian, negara ini dianggap sebagai negara yang mampu mewariskan ajaran-ajaran Wahabiyah.
Kemudian pada penghujung abad ke-19 M, tepatnya setelah meninggalnya Faisal, terjadi konflik di dalam keluarga Saud. Dalam kondisi tersebut, akhirnya kekuasaan pada wilayah Saudi dipegang oleh kepala suku Arab lainnya. Pada tahun 1890 M keluarga Saud diasingkan dan sejak itu pula periode kedua berakhir.
3. Periode Kebangkitan Abad Ke-20 M
Periode ini ditandai dengan pengambil alihan kota Riyadh oleh Abdul Aziz bin Abduurrahmman yang terkenal dengan panggilan Ibn Saud (1879-1953 M), mengambil alih Riyadh. Kemudian, ia melakukan ekspansi ke beberapa daerah untuk menetapkan kekuasaannya. Akhirnya pada tahun 1920 M Abdul Aziz dapat menguasai kembali beberapa daerah yang telah menjadi kekuasaan negara Saudi-Wahabi pertama dengan gerakan militer dan diplomasi.
Abdul Aziz dalam memimpin Saudi ini sangat konsisten akan misi Wahabi dan konstitusi yang digunakan berdasarkan Al-Qur’an. Keluarga syeikh memainkan peranan penting sebagai penasehat dan orang yang mengesahkan kebijakan negara. Kunci kesuksesan militer Saudi adalah menciptakan persaudaraan dan tentara-tentara suku Arab diorganisir dengan baik.
Pasca perubahan negara Saudi menjadi kerajaan, peranan gerakan Wahabiyah masih dominan. Namun gerakan Wahabiyah tidak lagi bersifat konserfatif, melainkan bekerja dalam kerangka modern.
Implikasi yang ditimbulkan gerakan Wahabiyah terhadap pembaharuan Islam cukup besar. Implikasi itu paling tidak dapat dilihat dalam dua hal besar yang berpengaruh terhadap dunia Islam.
1). ajaran-ajaran kaum Wahabiyah terutama Tauhid, kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits serta Ijtihad, mempengaruhi pemikiran dan usaha-usaha pembaharuan pada periode modern dari sejarah Islam, perkembangan dan pemikiran dan usaha-usaha pembaharuan terutama terjadi di Mesir, India, Afrika dan Indonesia.
2). sikap teokratik-revolusioner yang ditunjukkan gerakan Wahabiyah banyak mempengaruhi gerakan militansi yang ada pada abad ke-19 M. Beberapa contoh gerakan semisal yaitu; di India, ada sebuah gerakan yang dipimpin oleh Syariatullah dan Sayyid Ahmad melawan kesultanan Moghul yang tengah mengalami kemunduran, kelompok-kelompok Sikh, dan penjajahan Inggris. Di Aljazair, gerakan tarekat yang dipimpin oleh Ibnu Ali Al-Sanusi di Cyrenaica yang mendirikan negara teokratik di Lybia bagian selatan dan di wilayah katulistiwa Afrika sebagai protes terhadap kecenderungan sekuleristik sulta-sulta Usmani; dan tarekat Al-mahdi dibentuk oleh Muhammad Ahmad sebagai alat pemberontak di Sudan Timur melawan pemerintah Turki-Mesir dan para penasehatnya dari Eropa. Bahkan wilayah-wilayah yang sangat jauh seperti di Nigeria dan Sumatera (gerakan Paderi), pengaruh Wahabi berperan dalam meledakkan gerakan-gerakan militan Islam.
Posisi gerakan Wahabiyah
Gerakan Wahabiyah, adalah murni sebuah gerakan purifikasi keagamaan yang timbul sebagai reaksi terhadap kondisi internal umat Islam pada saat itu. Gerakam purifikasi keagamaan ini dinilai sebagai gerakan yang paling berhasil dari usaha yang serupa di seluruh dunia Islam. Karena di antara tujuan ideal dari gerakan Wahabiyah berhasil menampilkan gagasan pembaharuan yang sedikit demi sedikit tersebar di seluruh dunia Islam.
Gerakan Wahabiyah memiliki beberapa kelemahan;
1). terlalu revolusioner dan radikal sehingga banyak mendapat perlawanan dari para ulama ortodoks. Karena itu ada ahli kemudian memandang bahwa gerakan Wahabiyah merupakan prototipe (jadi model) gerakan fundamentalisme keagamaan dan politik yang mempunyai semangat purifikasi internal. Muhammad bin Abdul Wahab menggoyang pendulum reformisme Islam ke titik ekstrem: Fundamentalisme Islam.
2). anti rasionalisme yang berlebihan sehingga semangat ijtihad yang diserukannya tidak efektif, karena intelektualisme tidak diberikan tempat yang proposional. Peneilaian yang seringkali muncul dan menimbulkan perbedaan terhadap gerakan Wahabiyah yakni keberadaan gerakan tersebut dalam wacana pembaharuan Islam. Satu sisi menilai gerakan Wahabiyah sebagai gerakan purifikasi. Sementara pada sisi yang lain gerakan Wahabiyah sebagai gerakan pembaharuan (modernisme). Kedua penilaian ini kadang didikotomiskan antara satu dengan yang lainnya, sehingga terjadi perbedaan.
Sebenarnya perbedaan ini tidak perlu ada apabila diambil dari akar kata kedua istilah tersebut yaitu kata Tajdid. Sebab kata Tajdid mengemban misi ganda,yaitu :
1). Mengembalikan semua bentuk kehidupan keagamaan pada contoh jaman awal Islam. Gerakan yang mengorientasikan pada tijuan ini disebut dengan gerakan purifikasi.
2). Dengan landasan universalitas ajaran Islam, kata Tajdid kemudian dimaksudkan sebagai upaya untuk mengimplementasikan ajaran Islam sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan. Gerakan yang memperjuangkan gerakan ini biasanya dikenal sebagai gerakan renewal (pembaharuan).
Gerakan pembaharuan atau purifikasi yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab dapat dikelompokkan ke dalam gerakan yang disebut sebagai revivalisme pramodernis (pramodernisme revivalis). Pertimbangan dasar yang digunakan karena gerakan Wahabiyah lebih berorientasi pada perbaikan moral dan kehidupan sosial masyarakat.
Sukoco Koco