Mahakarya-nya bukan saja dilupakan bahkan dibenci oleh “ke-shalih-an” ahlu sunnah waljama`ah. Aneh dibacanya tetapi memang begitulah faktanya.
Kalau seandainya, umat Islam terus mengembangkan tradisi sains, tradisi kebebasan berpikir (ijtihad) dalam mencari solusi, tradisi filsafat yang mencari kebenaran, hidup lebih praktis realistis, sungguh umat Islam tidak bernasib seperti sekarang.
Dilahirkan Dan Dibesarkan Dalam Kawasan Tradisi Keilmuan.
Ibnu Khaldun (1332-1405) dilahirkan di bagian utara benua Afrika yaitu Tunisia setelah orang tuanya sekeluarga pindah dari Spanyol Moor (Andalusia). Semenjak kecil beliau telah hafal al-Qur’an. Pada waktu remaja Ibnu Khaldun belajar di masjid Zaitunnah yang terletak disamping rumahnya. Masjid ini sebagai pusat keruhanian dan keilmuan di Tunis sebelum adanya Universitas al-Azhar di Kairo yang didirikan pada dinasti Fatimiyyah. Di masjid inilah Ibnu Khaldun mendapatkan sangat banyak keilmuan diantaranya mempelajari Qiro’ah, mempelajari ilmu hukum Islam dari tafsir Qur’an, Hadits, dan Fiqih madzhab Maliki, dan sebagainya.
Meski demikian beliau bukan tipe ulama akhirat yang mengajarkan ilmu surga dan bidadari. Ibnu khaldun mengajarkan realitas hidup nyata di dunia: sejarah, sosial, hukum, ekonomi, politik; yang, kesemuanya dengan metode-metode yang masuk akal dengan tetap menjunjung nilai-nilai moral.
Pada saat itu, Kota Tunis kaya dengan para ulama dan cendekiawan yang terkenal di wilayah Arab Maghrib dan bahkan Benua Afrika. Interaksi Ibnu Khaldun dengan para ulama Arab Maghrib, terutama mereka yang beraliran rasionalis, mendorongnya untuk belajar filsafat yang kelak memengaruhi jalan pemikirannya.
Al Muqaddimah
Dalam Al Muqaddimah, Ibnu Khaldun menggambarkan tanda-tanda kemunduran Islam dan jatuh bangunnya kekhalifahan melalui pengalamannya selama mengembara ke Andalusia dan Afrika utara. Ia mulai menyadari pula, walaupun secara kultural Islam masih berada dalam zaman keemasan, basis material dari hegemoni Islam ketika itu telah melemah. Misalnya, wilayah-wilayah Islam di Afrika utara menghadapi tantangan dari suku-suku nomaden tradisional serta persaingan antara penguasa di satu sisi dan kekuatan Kristen di sebelah utara yang menguasai alur Mediterania di sisi lain. Invasi Mongol dari timur juga menggerogoti struktur yang telah terbangun dan kota-kota peradaban Islam.
Ibn Khaldun tidak semata-mata mengembalikan proses jatuh-bangunnya peradaban Islam ini kepada “kehendak Tuhan”, tetapi, dengan teliti dan cermat, dia mencoba mencari proses sosial-historis yang bekerja dalam masyarakat. Ia melihat bahwa perkembangan peradaban tunduk pada suatu hukum atau pola tertentu. Pola ini bekerja pada masyarakat manapun, baik Muslim atau non-Muslim.
Ibnu Khaldun’s Circle of Equity
Di antara pemikiran Ibnu Kaldun yang sangat penting dan unik adalah pemikirannya tentang circle of equity. Dalam lingkaran keadilan ini Ibnu Khaldun menguhubungkan antara beberapa variabel yang saling terkait dan saling mempengaruhi dalam memajukan atau memundurkan peradaban. Pemikiran Ibnu Khaldun dalam hal ini dapat dilihat dalam skema di bawah ini :
Di mana :
• G = Government (pemerintah)
• S = Syari’ah
• W = Wealth (kekayaan/ekonomi)
• N = Nation (masyarakat/rakyat)
• D = development (pembangunan)
• J = Justice (Keadilan)
Gambar tersebut dibaca sebagai berikut :
1. Pemerintah (G) tidak dapat diwujudkan kecuali dengan
implementasi Syari’ah (S) - (hukum, undang-undang)
2. Syari’ah (S) tidak dapat diwujudkan kecuali oleh pemerintah/penguasa (G) – (pemerintahan berdasakan hukum dan bukan berdasarkan orang)
3. Pemerintah (G) tidak dapat memperoleh kekuasaan kecuali oleh masyarakat (N) – (demokrasi)
4. Pemerintah G) yang kokoh tidak terwujud tanpa ekonomi (W) yang tangguh
5. Masyarakat (N) tidak dapat terwujud kecuali dengan ekonomi/kekayaan (W)
6. Kekayaan (W) tidak dapat diperoleh kecuali dengan pembangunan (D)
7 . Pembangunan (D) tidak dapat dicapai kecuali dengan keadilan (J)
8. Penguasa/pemerintah (G) bertanggung jawab mewujudkan keadilan (J)
9. Keadilan (J) merupakan mizan yang akan dievaluasi oleh Allah
Observasi Ibn Khaldun ini, jelas, bukan ia peroleh dari “meditasi” di perpustakaan, tetapi berdasarkan apa yang ia lihat dalam kehidupan sehari-hari.
Layaknya ilmu yang lebih awal lahir dari masanya, ilmu-ilmu tersebut tidak mendapat tempat lebih pantas didalam masyarakat masa itu. Jangankan mendapatkan penghargaan, malahan ilmu ini dibenci untuk dipelajari dikalangan pelajar dan lingkungan penguasa pada saat itu.
Ilmu-ilmu Ibnu Khaldun melawan arus absolutisme kekuasaan dan melawan arus taqlidisme keagamaan.
Bagi kalangan ahlu sunnah sumber kebenaran mutlak adalah Al Quran dan Hadits, titik. Prinsip-prinsip utamanya: menafsirkan ayat dengan ayat, menafsirkan ayat dengan hadits, menafsirkan ayat dengan makna zahir.
Pengetahuan-pengetahuan yang digalakkan untuk dipelajari dibatasi pada kitab-kitab fiqh empat, karena telah mendapat justifikasi dari penguasa, tassawuf isyraqiyah dan ilmu kalam Asy `ariyah.
Doktrin-doktrin ditanamkan untuk menghambat perbedaan keilmuan dan perkembangan ilmu pengetahuan; “Asy `ariyah adalah ahlu sunnah waljama`ah, berbeda paham dengan asy`ariyah adalah sesat dan keluar dari ahlu sunnah waljama`ah alias kafir”. “Pintu ijtihad telah ditutup”. “Kita umat Islam akhir zaman harus mengikuti apa saja yang diijtihad ulama mutaqaddimin, karena semakin dekat suatu generasi dengan Rasulullah SAW semakin mulia mereka. Merekalah cetakan hidup dan prilaku kita, tidak perlu lagi kita ijtihad karena semuanya telah ada pada generasi awwalun”
Nada lainnya yang juga berkembang, misalnya: “Imam Syafi`i merupakan mujtahid mutlak. Kita (umat Islam akhir zaman) tidak boleh menyimpang dari ajaran fiqih beliau, bahkan tidak boleh mengikuti apa saja yang dianggap berbeda pendapat dengan beliau, meskipun imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ibnu Hambal”. Dalam tassawuf, Imam Ghazali merupakan aktor satu-satunya, ia bagaikan raja.
Umat Islam dipakukan kepada satu aliran dan dihambat untuk berijtihad yang bisa menggugat sesuatu yang telah mapan.
Yang membuat nama Ibn Khaldun bersinar terang kembali, antara lain, adalah para orientalis di Barat yang bekerja dengan gigih untuk membongkar “lumbung” intelektual Islam yang kaya sekali ini, tetapi tak seluruhnya disadari oleh kalangan Islam. Franz Rosenthal adalah orientalis pertama yang membuat perhatian terhadap sarjana Islam yang hidup di abad ke-14 ini lewat terjemahannya atas Mukaddimah, sehingga Ibnu Khaldun bangkit kembali. Rintisan Rosenthal diteruskan oleh sarjana Muslim asal Irak yang lama mengajar di Universitas Chicago, kemudian diteruskan di Universitas Harvard, Prof. Muhsin Mahdi, melalui kajiannya atas filsafat sejarah Ibn Khaldun.
Baru pada tahun 1970’an dunia Islam mulai sadar akan harga dirinyayang terletak pada sosok Ibnu Khaldun.
Ibn al Sabil menganggap Ibn Khaldun sebagai perintis (pelopor) yang jauh mendahului Karl Marx, Proudhon, dan Engels. tentang pandangan Ibnu Khaldun mengenai kemiskinan dan sebab-sebabnya.
Ibnu Khaldun adalah Bapak dan ahli ekonomi yang mendahului Adam Smith, Ricardo dan para ekonom Eropa lainnya. Ibnu Khaldun adalah raksasa intelektual paling terkemuka di dunia. Ia lebih dari tiga abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut.
Bagaimana pun tetap ada saja sementara kalangan yang menganggap bahwa ilmu-ilmu semacam itu sekulair dan hukumnya haram.
Wassalam.
Soetarno Wreda