Istilah Salafi berasal dari kata salaf. Kata yang terakhir ini adalah bentuk mashdar dari kata kerja salafa-yaslufu, berlalu. Kata kerja ini dapat bersinonim dengan taqaddama-yataqaddamu yang berarti mendahului dan madha-yamdhi yang berarti pergi berlalu.
Bagaimana pengertian dalam kamus-kamus rujukan bahasa Arab? Dalam Al-Qamus Al-Muhith, Al-Fairuz Abadi mengartikan as-salaf sebagai setiap yang telah mendahuluimu dari kalangan bapak-bapakmu dan kerabatmu. Dalam Lisan Al-Arab, Ibnul Manzhur mengartikan as-salaf sebagai siapa saja yang telah mendahuluimu dari kalangan bapak-bapakmu dan kerabatmu yang mereka itu berada di atasmu dalam masalah usia dan keutamaan.
Dalam literatur-literatur keislaman klasik, seperti sejumlah antologi hadits-hadits Rasulullah dan komentar-komentar para ulama terhadap hadits-hadits tersebut, ternyata, kita bisa melihat makna salaf yang jauh lebih spesifik. Misalnya, di dalam Shahih Al-Bukhari, Imam Bukhari (810 – 870) kata salaf atau para pendahulu itu sebagai Rasulullah dan para sahabatnya.
Demikian pula dengan Ibnu Hajar Al-Asqalani. Dikenal sebagai salah satu komentator Shahih Al-Bukhari yang paling diterima sampai saat ini, Ibnu Hajar mengartikan kata salaf sebagai orang-orang dari kalangan para sahabat Rasulullah ridhwanullahu ‘alaihim dan setelahnya (tabi’in).
Salaf juga diartikan sebagai tiga generasi terbaik di tengah umat Islam, (1) generasi sahabat Rasulullah, (2) generasi tabi’in, dan (3) generasi tabi’ut tabi’in. Pengertian seperti ini mengacu kepada salah satu hadits yang ada dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi yang mengikuti mereka setelah itu, kemudian generasi yang mengikuti mereka setelah itu.”
Yang jadi pertanyaan sekarang, siapa saja yang dimaksud dengan sahabat-sahabat Rasulullah itu? Siapa pula yang terkategori sebagai tabi’in dan tabi’ut tabi’in?
***
Yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah ridwanullah ‘alaihim adalah setiap orang yang bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa beliau hidup kemudian mengimani apa-apa yang dibawa beliau dan meninggal-dunia dalam keadaan beriman seperti itu. Karenanya, bukan sekedar melihat, sebab dengan kata bertemu akan masuk pula setiap orang buta yang ada waktu itu.
Dengan pengertian tersebut, akan teranggap sebagai seorang sahabat Rasulullah setiap orang yang masih berusia kanak-kanak waktu itu. Mereka biasanya diistilahkan dengan sahabat-sahabat kecil Rasulullah, seperti Abdullah bin Zubair yang berumur 11 tahun atau Abdullah bin Abbas yang berumur 13 tahun atau bahkan Mahmud bin Labid yang berumur 5 tahun ketika Rasulullah wafat.
Juga dengan pengertian tersebut akan tidak dikatakan sebagai sahabat Rasulullah siapa saja yang waktu itu bertemu dengan Rasulullah dan kemudian beriman tetapi akhirnya meninggal dalam keadaan kafir atau murtad. Bahkan, tetap tidak bisa dikatakan sebagai sahabat Rasulullah yang murtad atau kafir kembali.
Contoh yang seperti itu adalah Ubaidullah bin Jahsyin yang semula beriman kemudian ikut berhijrah ke negeri Abessynia (Habasyah) tetapi akhirnya kembali memeluk Kristen di sana. Sampai meninggal-dunianya, Ubaidullah bin Jahsyin tetap dalam keadaan seperti itu. Jandanya, Ummu Habibah, dilamar, dinikahi dan menjadi salah seorang pendamping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai meninggalnya Rasulullah pada tahun 11 H.
Sebaliknya, siapa saja yang bertemu dengan Rasulullah dan beriman kemudian murtad tetapi akhirnya masuk Islam kembali dan memegangnya sampai meninggal-dunia, maka ia tetap dikatakan sebagai sahabat Rasulullah. Inilah yang harus menjadi catatan khusus buat kita.
Seperti Al-Asy’ats bin Qais Al-Kindi radhiyallahu ‘anhu, yang masuk Islam ketika Rasulullah hidup dan sempat murtad pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Al-Asy’ats bin Qais akhirnya masuk Islam kembali di hadapan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan hidup sebagai muslim yang baik setelah itu. Ia tetap terkatakan sebagai seorang sahabat Rasulullah.
***
Hampir serupa dengan definisi sahabat Rasulullah, sebutan tabi’in disematkan kepada siapa saja yang pernah bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mempelajari Islam dari sahabat tersebut dan meninggal-dunia dalam keadaan berislam sebagaimana Islam yang didakwahkan para sahabat Rasulullah.
Karena itulah, misalnya, tidak dikatakan sebagai seorang tabi’in jika seseorang itu menjalani Islam seperti yang diajarkan oleh Ma’bad Al-Juhani. Orang terakhir ini adalah seorang penduduk Bashrah yang menolak keberadaan takdir Allah. Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang masih hidup waktu itu mencela Ma’bad Al-Juhani, menjelaskan kesesatan keyakinan itu dan berlepas-diri darinya.
Akan tetapi, berbeda dengan generasi sahabat Rasulullah, para tabi’in dikelompokkan menjadi beberapa jenjang generasi. Dalam Taqrib At-Tahdzib, sebagai contoh, Ibnu Hajar Al-Asqalani membagi generasi tabi’in yang meriwayatkan hadits-hadits menjadi (1) thabaqah kibar at-tabi’in, (2) thabaqah al-wustha, (3) thabaqah tali al-wustha, dan ditambah (4) thabaqah ash-shugra.
Masing-masing thabaqah tabi’in memiliki sejumlah tokoh yang diakui oleh kaum muslimin sampai sekarang. Dari kalangan thabaqah kibar at-tabi’in, Sa’id bin Musayyib adalah salah seorang tokoh terkemuka yang paling dikenal. Dari thabaqah al-wustha, ada Hasan Al-Bashri dan Muhammad bin Sirin sebagai pemuka thabaqah. Dari thabaqah tali al-wustha, muncul sebagai pemuka mereka Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusi. Dari thabaqah shugra, dikenal Al-A’masy, seorang tabi’in periwayat-hadits yang nyentrik.
***
Karena Islam itu diwariskan secara berantai dari zaman Rasulullah lewat proses bertemu dan belajar langsung, maka dari generasi tabi’in itu kemudian muncul kembali orang-orang yang mendakwahkan dan mengajarkan Islam ke tengah-tengah masyarakat mereka waktu itu. Orang-orang yang mempelajari Islam dari para tabi’in itu kemudian memegangnya sampai meninggal-dunia dikenal sebagai atba’ at-tabi’in atau jamak diistilahkan di tengah kita sebagai tabi’ut tabi’in.
Seperti para tabi’in, generasi tabi’ut tabi’in pun terdiri dari beberapa jenjang generasi. Ibnu Hajar membaginya menjadi (1) thabaqah kibar atba’ tabi’in, (2) thabaqah al-wustha, dan (3) thabaqah ash-shugra. Masing-masing thabaqah ini memiliki tokoh-tokoh pemuka mereka.Rimbun Natamarga