PANGKEP dan Maros merupakan dua kabupaten di Sulawesi Selatan (Sulsel) yang dihuni etnis Bugis dan Makassar sekaligus. Dalam perjalanan sejarahnya, dua kabupaten ini tidak bisa dilepaskan sejarahnya dari peralihan kekuasaan Kompeni Belanda ke pemerintahan Hindia Belanda, yang mana pada banyak pusat kekuasaan yang dahulunya berbentuk Kerajaan berubah atau diubah menjadi pemerintahan kekaraengan. Hal inilah yang mendasari terciptanya Onderafdeeling di Sulawesi Selatan, yang didasari oleh daerah – daerah yang direbut dan dikuasai langsung oleh Belanda.
Penguasa pada daerah bekas kerajaan tersebut berstatus sebagai “raja tanpa mahkota” (Onttroonde Vorsten). Para karaeng maggau’ (arung mangkaue’) itu diberi gelar Regent oleh Pemerintah Hindia Belanda dan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Daerah – daerah yang tidak langsung dikuasai Belanda kecuali Gowa dan Bone, seperti Luwu, Mandar, Wajo, Soppeng, Tanete, Barru, Sidenreng, dan lainnya, kesemuanya diakui Belanda sebagai anggota sekutu atau negeri sahabat. Berdasarkan perjanjian Bongaya 1667 / 1669 kemudian lazim disebut sebagai afdeeling atau Zelfbesturende – Landschappen. (Benny Syamsuddin, 1985).
Rechts – gemeenschappen (Peraturan hukum) yang menetapkan kekuasaan dan pemerintahan Kekaraengan, untuk Onderafdeeling Pangkajene (sekarang Kabupaten Pangkep) diatur dalam Staadsblaad (Lembaran Negara – 1916 No. 352, dimana Onderafdeeling Pangkajene terdiri dari lima district adat – gemeenschap (Kekaraengan) yakni : Segeri, Ma’rang, Labakkang, Pangkajene dan Balocci. Selanjutnya, atas dasar surat “Eeste Gouverneur Sekretaries” 4 Agustus 1917 No. 1863 / I, Gouverneur van Celebes en Onderhorigheden (Gubernur Celebes dan daerah takluknya) mulai memperbaiki dan menata kembali karaeng, arung, opu, dan gallarang – schappen di Celebes Selatan, yang dahulu telah dihapuskan.
Pemerintahan kekaraengan di Pangkep terdiri atas tujuh wilayah adapt gemeenschap. Berdasar surat Gouverneur van Celebes melalui surat tertanggal 11 Mei 1918 No. 86 / XIX, Adatgemeenschap Pangkajene dipecah menjadi dua adat gemeenschap, yakni : Adatgemeenschap Pangkajene dan Adatgemeenschap Bungoro, yang disusul kemudian dengan pemecahan adatgemeenschap Segeri menjadi Adatgemeenschap Segeri dan Mandalle sebagaimana diatur dalam surat tanggal 13 Juli 1918, No. 124 / XIX. (Benny Syamsuddin, 1985). Dengan demikian Onderafdeeling Pangkajene terdiri atas : Mandalle, Segeri, Ma’rang, Labakkang, Bungoro, Pangkajene dan Balocci. Kekaraengan tersebut oleh Pemerintah Hindia Belanda diatur dan dibawahi oleh regent atau karaeng dan Sullawatang. Perlu diketahui bahwa penduduk dari Kekaraengan Mandalle, Segeri, dan Ma’rang sebagian besar terdiri dari Orang – orang Bugis, sedangkan penduduk dari keempat kekaraengan yang lain itu sebahagian besar terdiri Orang – orang Makassar.
Untuk Marusu’ (Kabupaten Maros), Pemerintahan kekaraengan sebagaimana catatan Gouvernement Selebes en Onderhoorigheden Afdeeling Makassar mengungkap tentang kekuasaan kekaraengan Toddo Limayya ri Marusu’, termasuk Bontoa yang Sejarah Perjalanan Kekuasaan Kekaraengannya ditulis oleh Saudara Muhammad Aspar. Dalam Randji Silsilah Regent van Bontoa No. 1053 / III, tertanggal 27 Januari 1928 yang ditulis oleh J.AB. van de Broor, seorang pejabat Gouvernement Hindia Belanda disebutkan bahwa kedudukan District Bontoa sama dengan District Maroesoe (baca : Marusu’) dan Toerikale (baca : Turikale) yang kultur dan penghidupan masyarakatnya sangat bergantung dari bertani (pertanian) dan menangkap ikan (perikanan).
Terkhusus Kekaraengan Bontoa, pada Abad Ke XV kekaraengan Bontoa dalam sejarahnya diketahui dibuka oleh I Mannyarang, Putra Karaeng Bangkala (Jene’ponto) yang menjadi utusan Raja Gowa. Namun demikian dalam Lontara Riwayat Karaeng Loe’ Ri Marusu’ tidak menempatkan Bontoa sebagai salah satu wilayah kekuasaan Karaeng Marusu, hal ini dinyatakan dalam Lontara’ (Ditulis I Sahban Daeng Masikki 1889 milik A. Fachry Makkassau, demikian pula halnya yang ditulis oleh W Cummings dalam Reppeading The Histories Of Maros Chronicle). Dalam Lontara’ ini dijelaskan bahwa atas inisiatif Karaeng Marusu’ X, La Mamma Daeng Marewa (1723 – 1779) sehingga terbentuklah ikatan diantara para karaeng (raja) yang berada disekitar wilayah Kerajaan Marusu’ dalam suatu Falsafah Abbulo’ Sibatang, yang selanjutnya dikenal dengan nama Toddo’ Limayya Ri Marusu’, meliputi Marusu’, Simbang, Bontoa, Tanralili dan Raya.
M Farid W Makkulau